eramuslim.com |
Kemarin saya bertemu dengan seorang bapak, dua anak. Anak pertama baru kelas X di madrasah tempat saya mengajar. Jujur ia mengaku, biaya pendidikan anaknya hasil berjibaku dan banting tulang. Polos ia bilang, sebenarnya secara ekonomi ia tak mampu membiayai pendidikan anaknya, meski biaya pendidikan di madrasah saya sangat murah.
“Tapi saya percaya, selalu ada pintu yang dibukakan Gusti Allah,” katanya mantap. Ketika bertemu saya, ia bersama istri dan anak bungsunya. Si kecil masih berusia 8 tahun dan sekarang sudah duduk di MI. Bertiga bapak ini naik motor butut, motor 2 tak.
“Meski tidak mampu saya tidak mau minta SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) kepada Kepala Desa untuk memperoleh PKH (program Keluarga Harapan). Saya akan cari biayai sendiri untuk pendidikan anak saya,” sambungnya lagi. Menurut bapak, membiayai sendiri pendidikan anaknya wujud dari kepedulian orang tua. “Banyak orang tua yang memperoleh bantuan pemerintah untuk biaya pendidikan anaknya, justru tidak peduli terhadap pendidikan anaknya”.
Saya jadi ingat respon kritis seorang teman terhadap program pendididikan gratis. Pendidikan gratis –melalui BOS—ternyata menjadikan orang tua makin tidak peduli terhadap pendidikan anaknya. Orang tua tak merasa perlu menanyakan masalah-masalah pendidikan anaknya di sekolah; bagaimana hasil belajarnya, apa kesulitannya, bukunya lengkap atau tidak, SPP-nya kurang berapa, dsb. Orang tua hanya menyediakan uang saku, dan 2 kali dalam setahun untuk mengambil rapor anaknya. Selebihnya sudah tak terpikirkan.
Berbeda dengan dulu ketika saya sekolah. Minimal tiap bulan orang tua pasti berkomunikasi dengan anaknya, meski sebatas soal iuran sekolah. “Nih iuran sekolahnya, jangan lupa dibayarkan ya? Yang rajin belajar,” kira-kira begitu orang tua ketika dahulu sekolah masih menerapkan kebijakan iuran dan sumbangan lainnya. Anak tahu bahwa biaya itu hasil kerja keras orang tuanya. Ia sudah belajar empati dari orang tua tentang makna ketangguhan, kerja keras, kepedulian, perhatian dan kasih sayang. Karena itu, ia harus membayar tuntas dengan belajar sepenuh hati.
Prinsip itulah yang saat ini masih dipegang oleh bapak yang saya temui itu. Bapak tak mengharap bantuan pemerintah. Ia memilih bekerja keras dan membanting tulang untuk biaya pendidikan anaknya. Bapak secara tidak langsung telah mendidik karakter anak, sesuatu yang belakangan ini kurang memperoleh tempat di sekolah.
Saya pernah berbincang dengan anak bapak ini. semangat belajarnya memang luar biasa. Pagi sampai siang ia belajar di sekolah, malamnya secara rutin ia belajar agama pada seorang kiai muda yang berjarak 5 km dari rumahnya. Tiap malam ia naik sepeda ontel untuk belajar agama. Sementara ke sekolah naik motor butut milik ayahnya.
Tetapi saya melihat tak ada perasaan minder pada anak ini. Ia riang dan begitu ceria. Semangat belajarnya berapi-api. Cita-citanya tinggi. Prestasinya juga bagus. Dan yang lebih membanggakan, interaksi atau relasi sosialnya baik di keluarga maupun di kelompok teman sebayanya tergolong sehat.
Sehabis bertemu bapak ini pengetahuan saya tentang makna ketangguhan, kerja keras, kepedulian dan kasih sayang terhadap anak makin bertambah kaya. Orang-orang kecil yang berpikir dan bertindak sederhana dan menjalani hidup dengan sederhana muncul sebagai sosok guru kehidupan yang menyimpan beribu hikmah. Jiwa besarnya sebagai orang kecil telah memberi pelajaran tak bernilai di saat banyak orang (termasuk saya) suka mengeluh. Terimakasih bapak.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 13 November 2013
2 Responses so far.
Terima kasih atas ceritanya yang sangat menyentuh dan syarat hikmah. Saya yang tergolong mampu dalam biaya sekolah, kok ya baru sadar, bahwa ada orang-orang yang pandai mensyukuri semangat belajarnya. Saya akan segera membenahi diri. Saya janji.
Oh ya, mengenai buku teks pelajaran, kenapa ya, pemerintah kita memelaratkan masyarakat. setiap tahun program dan sistem belajarnya diubah-ubah, sehingga buku tahun ini tidak bisa dipakai untuk siswa tahun depan. ini yang sangat mengganggu pikiran saya.
Salam,
Zyadah.
makasih mbak zyadah, orang kecil banyak menampilkan jiwa besar yang layak kita jadikan guru.
soal buku, gutulah. liberalisasi ekonomi ternyata juga ngimbas sama kebijakan perbukuan, makanya suka gonta-ganti. sayang ya, buku di saat sekarang gak bisa diwariskan sama adik kelas .
terimakasih telah berkunjung. terus berkarya
Posting Komentar