Posted by rampak naong - -




Ke Giliyang di bulan Agustus terasa berbeda. Ombaknya sangat besar. "Asapo' angin abantal omba' (berselimut angin, berbantal ombak), begitu ungkapan orang Madura. Setiap kali melihat ombak setinggi gunung menggulung perahu, setiap itu pula perasaan ciut muncul. "Biar selamat, yang banyak baca shalawat", kata Haji Basit, 67 th, tetangga saya yang juga ikut rombongan. Watak manusia seperti saya, baru ingat Tuhan jika marabahaya menghadang.

Kami rombongan Kompolan Tera' Bulan datang kedua kalinya ke pulau  yang sekarang dikenal sebagai tujuan wisata karena kualitas oksigennya yang bagus. Bersama KH Muhammad Shalahuddin yang akrab dikenal kyai Mamak, Kompolan Tera' Bulan diundang secara khusus oleh Kyai Irsono dan istri yang mau berangkat haji bulan ini. Ya, ini adalah selametan calon haji.

Berangkat jam 17.00 dari pelabuhan Dungkek dan tiba di Giliyang 40 menit kemudian. Karena lumayan besar perjalanan terasa lama bagi saya. Tiba di pelabuhan, 20 motor sudah siap menjemput rombongan. Kali ini rombongan memang sedikit, karena ada sekitar 10 orang yang terpaksa ditinggal berhubung terlambat datang ke pelabuhan dungkek pada saat perahu sudah harus berangkat.

Tiba di rumah kyai Irsono, kami langsung shalat maghrib. Sehabis shalat kami berbaur dengan ratusan para undangan yang akan menyaksikan kyai Irsono pamit mau berangkat ke tanah suci. Diawali dengan sambutan kyai Irsono, sekaligus beliau mohon maaf kepada hadirin, mohon doa, dan pamit, kemudian acara dilanjutkan dengan uraian hikmah haji oleh kyai Mamak, dan dilanjutkan dengan tahlil yang dipimpin ketua Kompolan, Tirmidzi. Habis tahlilan, acara dilanjutkan dengan bincang-bincang santai seputar haji yang diselang-seling dengan shalawat diiringi hadrah al banjari.

Kyai mamak mengurai secara dalam soal haji ini. Tetapi yang paling saya ingat, diantara ibadah lain, ibadah haji merupakan ibadah yang paling diingini oleh muslim, sejak tua hingga anak-anak. Termasuk orang yang sudah naik haji pun masih ingin ke Mekkah lagi. Bahkan keinginannya lebih kuat ketimbang orang yang belum. Tetapi kyai Mamak mengingatkan, kewajiban berhaji hanya sekali. Seperti kebiasaan Kompolan Tera' Bulan, setelah pemantik diskusi selesai dilanjutkan dengan tanya jawab. Ada tiga orang yang mengajukan pertanyaan menarik, salah satunya tentang haji dan solidaritas sosial. Jam 22.30 bubar, setelah sebelumnya ditutup dengan membaca shalawat dengan berdiri (qiyam) yang dipimpin Ustadz Tirmidzi.

Selesai acara, bersama kyai Mamak, Tirmidzi, Arif dan Taufik (Mahasiswa UGM yang ikut rombongan), Umam dan Sairi (pegiat agraria) bersama warga bergerak menuju spot oksigen. Di sana kami berbincang dengan warga, termasuk Kades Bancamara, Bapak Alwi, tentang masa depan Giliyang yang sekarang sudah jadi destinasi wisata oksigen.

Diskusinya menarik termasuk pemikiran kyai Mamak yang mendesak warga di situ untuk merumuskan pariwisata berbasisi warga. Warga harus jadi tuan rumah,  bukan tamu di pulaunya sendiri. Maka sejak transportasi, catering, homestay, dan cenderamata serta produk lokal lainnya warga lah yang menyediakan dan mengurusinya. Di pulau itu juga harus dijunjung nilai-nilai dan kearifannya, no alcohol, no bikini, dan "no-no" lainnya untuk menjaga keberlanjutan pulau baik secara ekonomi maupun budaya.

Hampir jam 24.00 kami kembali ke kediaman kyai Irsono, tidur semalam di situ, sambil bermimpi tentang Giliyang yang sudah jadi etalase bagi pemodal dan orang-orang kota. Semoga Giliyang ke depan tidak justru mengasingkan warganya sendiri.

Terimakasih kepada warga Giliyang, kapan-kapan semoga kami bisa kembali lagi.

Pulau Garam l 11 Agustus 2017

One Response so far.

Langgar Careta mengatakan...

saya juga pernah merasakan bagaimana ramahnya warga Gili Iyang