Posted by rampak naong - -



Jumat malam (17/11) pukul 19.30-23.30 sekitar 40 orang kebanyakan anak muda ngobrol di KancaKonaKopi Sumenep menyoal Visit Sumenep Year (VSY) 2018. Hadir sebagai pemantik obrolan, redaksi majalah fajar yang edisi ini memang mengangkat laporan utama soal VSY,  kyai Muhammad Zammiel Muttaqin dari pesantren guluk-guluk, mas Syaf Anton budayawan Sumenep, dan saya sendiri. Obrolannya menarik. Ditemani kopi yang racikan dan jenisnya macam-macam, obrolan yang santai ini justru menjadi tidak santai alias serius karena obrolannya bernada "menggugat", VSY yang dicanangkan pemerintah daerah Sumenep dalam obrolan disebut hanya "visit-visitan".

Mas Anton mengumpamakan VSY ibarat orang menjual pete' (anak ayam) yang ditaruh di karung sangat besar dengan publikasi besar. Pas orang yang mau beli lihat ayamnya, "  eh...ternyata cuma pete' ". Jadi, cuma lebih besar publikasinya karena memang VSY tak dipersiapkan dengan matang.  Ini baru soal persiapannya, belum lainnya.

Lain dengan kiai miming, VSY menurut beliau ditamsilkan seperti umrah yang justru menggantikan haji yang wajib. Seolah dengan VSY, ekonomi rakyat akan membaik. Pada hal menurut beliau, VSY telah memalingkan tanggungjawab pemerintah untuk memikirkan hal yang wajib misalnya, nelayan dengan hasil lautnya, petani dengan hasil kekayaan alamnya, termasuk garam dan potensi lainnya. Menurut kiai miming, pandangan seperti ini merupakan wujud dari kemalasan berfikir. Dengan nada kritis kiai miming mengajukan pertanyaan, "pekerjaan pemerintah sebenarnya apa sih?"

Makanya VSY tidak jelas untuk kepentingan siapa. Tak perlu mengatakan bahwa VSY untuk kepentingan rakyat. VSY hanya untuk kepentingan pemodal atau kelompok yang memperoleh untung dari relasinya dengan pemodal. Wajar jika sejak awal rakyat terutama di lokasi wisata tidak pernah dilibatkan dalam perumusan master plan pariwisata. Master plan pariwisata dibuat oleh sekelompok orang, entah atas nama expert, yang dicocokkan dengan kepentingan para pemodal. Tidak aneh jika master plan pariwisata hingga detik ini tak pernah disosialisikan kepada publik.

Sejatinya jika mau serius, VSY dirumuskan dalam kerangka mendukung tugas wajib pemerintah daerah, bukan menggantikanya. Tugas wajib pemerintah tetap mengurusi secara serius nelayan dan petani yang merupakan populasi terbesar rakyat Sumenep. Sementara VSY didesain untuk mendukung tugas wajib ini. Menjadi jungkir balik, jika pemerintah mengurus secara serius VSY , tapi abai terhadap petani dan nelayannya.

Jika demikian, VSY sejatinya diintegrasikan dengan potensi yang dihasilkan nelayan dan petani. Misalnya, kebutuhan kuliner para wisatawan dirancang betul bagaimana terintegrasi dengan nelayan dan petani yang menghasilkan ikan dan bahan makanan. Tapi sayang dalam amatan kiai miming, di dekat hotel yang bertebaran di Sumenep saja soal kuliner ini tak dikelola baik. Ini baru soal kuliner.

Demikian pula soal transportasi, kuliner, homestay dan cendera mata terutama di lokasi pariwisata harus diserahkan kepada rakyat. Jika tidak, dipastikan investor mengambil alih. Tapi sayang, karena saat ini master plan pariwisata tidak dipublikasikan, diragukan pariwisata berbasis rakyat akan menjadi arus utama kebijakan pemerintah.

Saya menengarai ada tiga arus kebijakan pariwisata yang bertarung di tubuh pemerintah. Pertama, yang menghendaki pariwisata dikelola oleh rakyat. Arus ini lemah dan tak banyak pendukungnya. Di samping desain pariwisata berbasis rakyat belum jelas, seperti apa "blue print"nya.

Kedua, arus yang menghendaki pariwisata dikelola BUMD/BUMDES. Gagasan ini seolah bagus ditengah kencangnya privatisasi, meski bagi saya tata kelola yang buruk dan kepemilikan yang sepenuhnya dimiliki  "pemerintah" bisa menjadikan BUMD/BUMDES dijalankan dengan sangat kapitalistik.

Ketiga, arus yang menghendaki pariwisata diserahkan kepada swasta/investor. Nampaknya arus ketiga inilah yang paling kuat. Terbukti beberapa kali di media ada berita pemda menawarkan potensi pariwisata kepada investor, termasuk investor asing, seperti Turki dan Arab Saudi. Jika yang ketiga betul-betul terjadi, maka tamat wacana pemerintah sendiri yang selalu menghubungkan pariwisata dengan kesejahteraan rakyat.

Pariwisata meski seksi, bukan berarti tak mengundang petaka. Akan banyak masalah yang akan muncul, setidaknya yang mengemuka di forum sebagai berikut :

# Kebudayaan Madura akan tergerus. Secara lahiriah, tradisi dan keseniannya akan diawetkan tetapi rohnya dicabut hanya sekedar untuk dipertontonkan kepada pelancong. Cara pandang orang Madura yang menyukai keseimbangan dunia-akhirat, akan termaterialisasi dan hanya berorientasi duniawi. Pariwisata yang membawa nilai-nilai "have fun", senang-senang, serta spirit kebebasan dan hiburan akan menjadikan  pergaulan anak muda makin berjarak dengan kebudayaannya sendiri. Kita harus akui, pariwisata dimanapun selalu tersadera sama bisnis gelap, sex dan narkoba. Belum lagi nasib bahasa Madura yang akan semakin terpinggirkan.

#Jika pariwisata yang dikembangkan ramah bagi investor tentu akan lebih membawa petaka yang makin berat, karena lahan-lahan terutama di lokasi pariwisata akan dijarah investor. Pengakuan bapak Sahlan, warga Pulau Giliyang, bahwa tanahnya dekat spot oksigen ditawar 2 milyar bisa menjadi ilustrasi bagaimana investor dengan rakusnya menyasar lahan-lahan di lokasi wisata. Untungnya pak sahlan kukuh tak melepas lahannya. Maka ke depan akibat VSY akan terjadi petaka yang saling melengkapi, tanah dihabisi dan kebudayaan serta tradisi Madura akan dicerabut. Sungguh, bentuk petaka yang sempurna.

Meski dalam obrolan di kancakonakopi berkembang sikap tak percaya sama pemerintah dan sesegera mungkin rakyat bangkit membangun konsolidasi dan mengurus ekonominya berbasis kooperasi, saya tetap mengharap pemda mendengar obrolan ini. HATI-HATI MENGELOLA VISIT SUMENEP YEAR. SALAH KELOLA, KITA AKAN MENUAI PETAKA. TIDAK SAJA TANAHNYA DAN SEGENAP YANG DIKANDUNGNYA AKAN HABIS, TAPI JUGA BUDAYANYA, TRADISINYA, GENERASINYA, DAN BAHKAN MASA DEPAN SUMENEP AKAN MUSNAH TINGGAL CERITA.

Matorsakalangkong

Pulau Garam l 23 November 2017