google.com |
Daripada beranjak tidak menemukan arah karena semua saluran kebangsaan telah dikuasi, aku menepi. Mencoba merebahkan penat, lelah, dan dahaga pada hamparan tanah yang tidak lagi gembur dan pepohonan dengan buahnya yang tidak lagi ranum. Mereka kira dengan meninggalkanku akan menjadikan semangatku patah arang. Tidak. Aku bersama rakyat lainnya bisa tetap berjibaku mengolah rerongsokan sumber daya dan alam untuk survive. Meski sedih, aku tak mengeluh. Meski lelah, aku tak berdiam diri. Toh aku bisa bekerja sambil menyalakan harapan sendiri. Terlepas dari harapan para guide yang sudah susah untuk aku percayai. Ya..aku menyalakan harapan di tengah gelap gulita kebangsaan dan hilangnya peta untuk sampai pada kejernihan sumber mata air.
Sesekali aku dengar suara riuh rendah suara para guide mereguk sumber mata air yang bermil-mil jaraknya dariku. Meski aku dengar dari angin yang kecepatannya selalu berubah. Kadang aku dengar dari burung merpati yang aku dengar sudah mereka beli, sehingga tak lagi mampu menjadi pengabar damai. Wajar jika dalam kosa kataku dikenal “kabar angin” atau “kabar burung”. Karena memang tidak jelas angin dan burung siapa.
Suara riuh rendah itu terkadang berubah menjadi sayatan. Ah..teryata para guide itu saling tikam sendiri. Mirip makhluk barbar. Aku malu. Kadang muak. Campur baur. Bagaimana tidak. Sudah menguasai sumber mata air, masih berebut menebar sayatan yang darahnya mengalir hingga parit di hamparan tanah yang menjadi tempat survive-ku. Ya darah. Dengan segenap baunya yang amis dan nyinyir. Apa mereka pikir, begitu rendahnya aku sehingga mereka mengirim darah untuk aku minum? Maaf, aku bukan drakulu.
Yang aku tak habis pikir, mereka tidak saja mengirim darah. Tapi memecah belah. Aku dan rakyat lainnya yang hidup dalam hamparan tanah sekedar untuk survive dikipas-kipas untuk saling tidak peduli. Saling curiga. Saling tikam. Saling sayat. Lihatlah, kipasan mereka telah memunceratkan darah dari tubuh-tubuh rakyat yang sudah sengsara. Mengalirkan dendam pada “yang lain”, pada kebhenikaan, pada jantung kebangsaan.
Aku yakin, semua pangkalnya karena sumber mata air. Mereka rakus. Sumber mata air ingin dikuasai sendiri. Nafsu-nafsu keserakahan disiagakan setiap hari untuk mengeruk sumber mata air. Jika kurang kuat, nafsu-nafsu mereka yang berbaris berkolaborasi dengan nafsu-nafsu lain. Karena aku juga dengar, nafsu-nafsu lain itulah yang sebenarnya mendesain ideologi di belakangnya.
Aku senyap. Tanda kelelahan sudah tidak bisa dibahasakan. Belantara kebangsan makin gelap, sementara peta tidak di tangan. Beruntunglah. Aku dan rakyat lainnya tidak patah arang
Tetap membangun harapan. Meski peta sudah dicuri. Oleh para guide yang sudah lari mencari sumber mata air sendiri. Aku dan rakyat lainnya masih sadar, bangsa ini terlalu indah untuk dirusak, kawan.
Posting Komentar