google.com |
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Saya shock mendengar siswi madrasah tempat saya mengajar, kabur dari rumah. Kejadiannya sudah lama, malam lebaran idul fiti tahun lalu. Ia pamit sama ibunya mau menonton festival tong-tong (kentungan) di kota sumenep. Sampai pagi ia belum juga pulang. Ternyata ia kabur bersama cowoknya yang putus sekolah. Sampai saat ini pihak keluarga belum tahu rimbanya.
Sebelumnya ia juga pernah kabur. Pagi sebelum jam 7 wib iparnya datang ke rumah bersama saudara sepupu saya. Setelah kontak sana-sini sama kawan dekatnya, ternyata ia ada di rumah sahabatnya. Selamat. Tapi peristiwa yang kedua telah membawanya pergi dan tak datang kembali hingga saat ini.
Setelah kaburnya yang pertama selepas pulang sekolah saya pernah mengundangnya ke rumah. Bersama istri saya mencoba ngobrol dengannya. Saya tidak melihat ia punya masalah berat. Wajahnya berseri-seri . Nampak enjoy sekali ngobrol dan seolah tak ada beban. Istri saya bilang, “kalau ada masalah mending kamu main di sini. Tidur di sini juga gak apa-apa. Asal jangan kabur lagi ya..”. Mendengar istri berkata begitu, si gadis hanya mesem.
Dari informasi yang saya himpun, ia ternyata dibesarkan dalam keluarga broken home. Sejak kecil ayah-ibunya sudah bercerai. Perceraian yang menimpa ayah-ibunya ternyata sangat mengganggu perkembangan psikologisnya. Ia kehilangan keseimbangan dalam menyerap kasih sayang dari orang tuanya. Ketika remaja seperti sekarang, ia bengal. Selalu saja mengambil tindakan berani dan membingungkan orang tua. Tindakan ini mungkin diambil sebagai bentuk katarsis dari senyapnya kasih sayang. Tindakan mencari perhatian, meski melampaui batas, terpaksa dilakukan.
Dalam beberapa tahun terahir ini, di madrasah tempat saya mengajar, banyak kasus didominasi oleh anak yang menjadi korban perceraian. Kalau dipersentasekan mungkin sampai 75 %. Sejak kasus bolos sekolah, minum, pencurian, pemukulan, pelecehan seksual, dll. Semua tindakan itu memang dilakukan di luar jam sekolah. Tetapi karena madrasah memiliki jaringan yang kuat dengan alumni dan masyarakat, tindakan itu bisa diketahui oleh pihak sekolah.
Saya akhirnya berkesimpulan perceraian ibarat bom waktu yang menyelinap diam-diam dalam pikiran anak. Saatnya, ketika tiba masanya, bom itu akan meledak dan mencabik-cabik tidak saja masa depan anak itu, tetapi juga keluarganya.
Pemasalahan peceraian tidak bisa dianggap enteng. Secara kuantitatif, angka perceraian terus meningkat tiap tahunnya. Data Kementerian Agama RI pada tahun 2009 ada 250 ribu kasus perceraian di Indonesia. Data ini kira-kira 10% dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Dibanding tahun 2008 naik 50 ribu kasus. Tahun 2008 data perceraian 200 ribu kasus (baca di sini ). Menariknya, angka perceraian setelah masa reformasi meningkat 4-10 kali lipat dibanding sebelum reformasi. Pada periode 5-10 tahun lalu, di Indonesia hanya terjadi 20 ribu hingga 50 ribu kasus perceraian per tahun.Pada tahun 2010 angka perceraian meningkat, meski lonjakannya tidak tajam yaitu 285 kasus dari 2,1 juta perkawinan. Berarti pada tahun 2010 angka perceraian mencapai lebih dari 10% (baca di sini ).
Menunjuk akar masalah perceraian saat ini dengan 10-15 tahun yang lalu tentu berbeda. Masalahnya saat ini sudah sangat kompleks. Yang paling mendasar menurut saya, karena begitu longgarnya ikatan perkawinan oleh perubahan sosial yang bertubi-tubi dan sangat mencengangkan. Perubahan sosial yang cepat paska reformasi juga melonggarkan segenap bentuk nilai, norma, dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Satu contoh, maraknya perselingkuhan dimana-mana, menjadi alasan keluarga –yang misalnya dibangun hingga 30 tahun pun— harus ambruk.
Dalam membangun keluarga, konflik tidak bisa dihindari. Meski harus diakui tak ada resep baku membangun keluarga yang harmonis, tetapi ada prinsip yang bisa menjadi pegangan, bahwa keluarga perlu dibangun atas dasar kehangatan kasih sayang, terbuka, dan saling menerima. Di samping itu, memegang nilai-nilai agama menjadi penting sebagai jangkar dalam mengarungi perubahan sosial yang begitu cepat seperti saat ini.
Perceraian, apapun alasannya, hanya akan memberi sengsara bagi anak-anak. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang gelisah dan memiliki ketidakpastian masa depan karena tercerabut dari kasih sayang yang seharusnya kokoh menyemainya. Jika angka perceraian terus meningkat, berarti sama saja kita menaruh bom waktu dalam pikiran anak-anak yang suatu saat akan mencabik-cabik masa depannya, keluarganya, masyarakatnya, dan juga bangsa ini.
Jadi, jangan buat celah dalam pikiran kita untuk bercerai.
Posting Komentar