google.com |
Lapor pak. Sejak 5 tahun terakhir ada trend baru di desa saya, di Sumenep Madura. Tiap tahun semakin banyak tetangga saya yang mengadu nasib ke Jakarta. Tadi sore, anak tetangga saya yang usianya kira-kira 20-an juga berangkat ke Jakarta. Peristiwa ini 6 tahun lalu sangat jarang terjadi. Di banding 3 kabupaten lainnya, terutama Sampang dan Bangkalan, Sumenep mungkin paling sedikit penduduknya yang melakukan urbanisasi. Tapi saat ini, trend mengadu nasib ke Jakarta sedang mewabah.
Bapak presiden mungkin sudah tahu akar masalahnya. Tetapi tak ada salahnya saya menjelaskannya. Penduduk di daerah saya mayoritas petani. Sebagian nelayan. Salah satu andalah petani adalah tembakau. Pada dekade 80-90-an menanam tembakau itu sangat menguntungkan. Jika panen berhasil, hasil bertani tembakau yang masa tanamnya cuma 3 bulan sudah cukup untuk membiayai keluarga selama 1 tahun. Bahkan petani yang terjerat hutang besar, bisa melunasi hutang-hutangnya hanya sekali penen. Wajar pak, karena harga tembakau saat itu bisa Rp. 30 ribu/kg. Paling murah rp. 18 ribu/kg. Bahkan untuk katagori tembakau super bisa di atas 30 ribu/kg.
Sejak tahun 2000 petani tembakau sering mengalami kerugian. Sebagian karena faktor cuaca, misalnya hujan. Tetapi yang sering justru dikarenakan permainan pasar yang dilakukan perusahaan-perusahaan rokok besar. Bayangkan pak, harga tembakau anjlok hingga 2 ribu/kg. Harga rendah seperti itu tidak cukup untuk membayar ongkos pekerja yang memetik. Makanya banyak juga petani yang membiarkan tembakaunya sampai kering di sawah.
Coba banyangkan pak. Ketika petani membeli sebungkus rokok termurah sekalipun butuh uang 3 ribu/1 bungkus yang isinya 12 batang. Pada hal perusahaan rokok membeli dari petani 2-4 ribu/kg. Berapa keuntungan perusahaan rokok yang mereka peroleh dari penjajahan yang mereka lakukan terhadap petani tembakau sendiri?
Lapor pak. Sejak 2 tahun terakhir mayoritas petani sudah tidak menanam tembakau lagi. Mereka kapok. Rame-rame mereka menanam jagung, padi, atau tanaman lainnya. Tentu ini kabar gembira bagi kawan-kawan kita yang konsen di gerakan anti rokok . Tetapi sayang pak. Hasil panen belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan anak dan istri. Tahu sendiri lah pak. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintahan bapak, harga kebutuhan sembako melambung tidak karuan.
Melambungnya harga sembako teryata juga dikuti oleh menurunnya harga jual ternak. Tahu sendiri kan pak, petani itu kreatif. Di samping bertani mereka juga memelihara ayam, itik, sapi, dan kambing. Tetapi sekarang harga ternak jatuh. Sapi misalnya, harganya turun hingga 500 ribu- 1 juta/ekornya. Artinya, para petani rugi memelihara ternak saat ini. jika mereka tetap memelihara, ini terus terang karena keuletan dan ketabahan mereka.
Itulah pak presiden, kenapa tetangga saya kemudian rame-rame urbanisasi ke jakarta. Di desa saat ini sudah tidak ada yang bisa mereka lakukan. Yang saya tahu, mereka di Jakarta menjaga warung kelontongan. Ada yang punya sendiri, tetapi banyak yang jaga punya orang lain.
Pak presiden, dalam sejak tahun 2007-2009, data tentang urbanisasi di Jakarta, katanya, terus menurun. Pada tahun 2007, jumlah pendatang baru di Jakarta tercatat 109.617 orang. Setahun kemudian, jumlahnya menurun 19,29 persen menjadi 88.473 orang. Tahun lalu angkanya turun 21,28 persen menjadi 69.554 orang ( baca di sini ). Tapi di tahun ini saya yakin, urbanisasi ke Jakarta akan naik lagi. Bagaimana tidak, saya iseng-iseng menghitung dari 4 desa saja didaerah saya, tahun ini bisa sampai 30-40 orang yang berangkat ke Jakarta.
Saya tidak tahu, apa yang akan dilakukan bapak untuk menyelesaikan masalah ini. Yang saya tahu, itu pun hanya dengar saja, sistem ekonomi yang bapak kembangkan sudah sangat pro pasar. Cuma kali ini yang ingin saya tanyakan sama, sudahkah tibakah tetangga saya di Jakarta?
Posting Komentar