kompas.com |
Penanaman tembakau di Madura memiliki sejarah panjang. Kuntowijoyo dalam buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura mencatat, penanaman tembakau di Madura dimulai pada tahun 1861. Yang pertama kali memulai adalah tiga usahawan Belanda di kabupaten Pamekasan.
Dalam perkembangannya, tanaman tembakau mengalahkan tebu dan gula siwalayan yang memang lebih dahulu dikenal masyarakat Madura. Sebagai tanaman komersial tembakau sangat menjanjikan. Wajar jika penanaman tembakau mengalami perkembangan pesat hingga meluas ke Sumenep, kabupaten yang berada di ujung timur pulau Madura. Pada tahun 1875 di pamekasan telah dipanen tembakau dari tanah seluas 137 bau, 5 tahun kemudian (1880) naik seluas 279 bau. Di sumenep, tahun 1884 seluas 3.671 bau, dan pada tahun 1905, 8.865 bau.*
Bahkan menurut Kuntowijoyo, setelah perang dunia I tembakau Madura tidak saja diminati oleh pasar lokal tapi bisa menembus pasar Eropa. Sayang, hal ini tidak bisa berlanjut lama, dikarenakan tiap-tiap produsen tidak memiliki standar yang sama dalam menjaga mutu tembakau. Akibatnya pasar internasional menghentikan pasokan tembakau dari Madura.
Meski terputus dengan jaringan pasar internasional, tembakau Madura tetap dibutuhkan pasar lokal. Hal ini bisa dibuktikan dari tahun ke tahun jumlah petani yang menanam tembakau terus meningkat. Hampir semua sawah yang menghampar sejak dari Sampang, Pemekasan, dan Sumenep dipenuhi oleh tanaman tembakau.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, mengutip data Kompas, tembakau dan Industri hasil tembakau menyediakan lapangan kerja (langsung atau tidak) bagi 6,4 juta orang (40 persen dari pulau madura, dan 60persen tersebar di jawa dan nusa tenggara). Meliputi 2,3 juta petani tembakau,1,9 juta petani cengkeh,199.000 pekerja pabrik rokok, sekitar 1,15 juta pedagang eceran dan asongan, 900.000 yang keberja pada sektor lembaga keuangan, percetakan, dan transportasi (Radar Madura, 14/10/2008).
Di daerah pengembangannya, tembakau memberikan sumbangan 60-80 persen dari total petani. Di Madura uang kartal yang disediakan bank Indoensia musim panen di pamekasan dan Sumenep meningkat menjadi 750 milyar sampai 1 triliun perbulan. Bulan-bulan biasa hanya 100 juta (Radar Madura, 14/10/2008).
Laba yang diperoleh oleh perusahaan rokok juga tidak tanggung-tanggung. Gudang Garam dan HM Sampoerna pada semester pertama 2009, misalnya, memperoleh laba Rp 1 trilun lebih. Hal serupa juga didapat pemerintah dari tarif cukai rokok, sebesar Rp 30 triliun per tahun ( baca di sini ).
Pada dekade 80-an dan 90-an bisa disebut sebagai era keemasan tembakau Madura. Tak terhitung banyaknya para petani yang merasakan masa keemasan itu. Meski harus diakui bahwa yang paling beruntung tetap para pengepul, “gudang”**,dan termasuk negara.
Meski keajegan harga tembakau tidak sama di setiap tahunnya, tetapi jika tahun ini merugi, masih bisa ditutupi di tahun berikutnya. Seperti yang diungkap H Jauzi, tetangga saya, pada tahun 1998 harga tembakau jatuh. Tetapi kerugian pak haji ini masih bisa tertutupi pada tahun 1999.
Di kecamatan saya pada dekade 80 dan 90-an tak terhitung jumlah petani yang bisa naik haji, menyekolahkan anaknya hingga PT, membangun rumah, dan membeli kendaraan bermotor. Ungkapan petani waktu itu, “bertani 3 bulan, cukup untuk hidup setahun”. Ada lagi ungkapan, “jika banyak hutang, bertanilah tembakau”. Wajar jika orang Madura menyebut tembakau sebagai “emas hijau”.
Tembakau Madura mengalami fluktuasi harga sejak tahun 2000. Puncaknya pada tahun 2008-2009. Di tahun ini harga tembakau rajangan di daerah saya jatuh hingga 4 – 6 ribu/kg. Pada hal harga normal Rp. 15 - 20 ribu/kg. Ilustrasinya kira-kira seperti ini, jika petani menjual tembakau 1 ton dengan harga normal 20.000 dia akan mendapatkan uang sekitar 20 juta. Tetapi jika harga jatuh hingga 4.000, dia hanya akan mendapatkan uang 4 juta. Berarti kerugian petani ini sekitar 16 juta per tonnya. Jika 5 ton, silahkan kalikan saja kerugiannya. Beginilah kira-kira kerugian petani tembakau sejak tahun 2000.
Sejak tahun 2010 banyak petani tembakau di daerah saya kapok. Mereka beralih menanam padi, jagung, sayur, dan tanaman pangan lainnya. Memang, keuntungan tanaman ini tidak sebesar tanaman tembakau. Pesoalannya buruh tani yang tidak memiliki sawah atau yang hanya menjual tenaganya, pemasukannya kurang akibat makin sedikitnya petani yang menanam tembakau.
Apalagi saat ini, ketika harga kebutuhan pokok kian melonjak, kelompok rentan ini semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Efek dari tamatnya keemasan “si emas hijau” ini menyebabkan angka urbanisasi tiap tahun di daerah saya terus meningkat. Sesuatu yang tidak saya temua 15 tahun yang lalu.
Belum lagi adanya UUKesehatan yang mengkatagorikan tembakau sebagai zat adiktif. Tentu saja UU ini memiliki implikasi serius karena tanaman tembakau akan terus semakin berkurang. Karena itu, menjadi penting pemerintah (terutama pemerintah daerah) mengupayakan tanaman alternatif yang hasilnya setara dengan tanaman tembakau.
Ah...”si emas hijau”, riwayatmu kini.
Catatan :
- Satuan bahu banyak digunakan untuk areal pertanian ( sawah atau ladang ) dan telah dipakai sejak zaman hindia-belanda. Menurut Cultuurstelsel, 1 bouw adalah 7096,5 meter persegi (baca di sini )
- sebutan orang Madura terhadap kantor perwakilan perusahan rokok yang ada di Madura. semua perusahan rokok besar seperti Djarum, Gudang Garam, Sampoerna, dsb. Memiliki kantor pewakilan dan gudang penyimpanan tembakau.
Posting Komentar