google.com |
Fungsi pengawas pendidikan sudah saatnya direvitalisasi. Selama ini pengawas pendidikan hanya menjalankan tugas tehnis-administratif. Bukan menjadi agen yang mendorong munculnya gagasan-gagasan segar bagi upaya transformasi pendidikan. Relasi yang dibangun juga top down, searah, dan tidak dialogis, terutama dengan kepala sekolah. Kini mendesak melahirkan pengawas yang kaya ide, terbuka, dan bisa melakukan pengawasan secara partisipatif.
Pengalaman saya, setiap kali madrasah kedatangan pengawas, sudah bisa ditebak apa yang akan disampaikan. Yang paling sering, pengawas melakukan penilaian sepihak. Mungkin karena posisinya sebagai ”pembina”, seolah absah bagi pengawas untuk melakukan ”pembinaan”. Saya terpaksa menggunakan tanda petik mengingat kenyataannya pengawas sering underestimate dan menilai kelemahan (lebih-lebih kepada sekolah swasta), tanpa memahami konteks masalah apalagi mengajukan solusinya.
Pengalaman di atas bukan kasuistik. Ketika saya menanyakan pengalaman sekolah lain, ternyata kerja pengawas tak jauh beda. Menanyakan berapa jumlah guru, jumlah siswa, atau menanyakan hal-hal lain yang tidak substansial. Selebihnya –mungkin ini yang paling wajib—menandatangani. Sampai berkas penilaian terhadap guru yang mau mengikuti sertifikasi juga harus ditandatangani pengawas. Masalah kemudian muncul. Bisakah pengawas menjadi assesor, sementara tugasnya selama ini sangat tehnis-administratif?
Barangkali sudah harus digagas, bagaimana pengawas dikembangkan kapasitasnya untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Dengan mengandaikan pengawas layaknya konsultan pendidikan, yang tahu betul permasalahan pendidikan, tentu akan memberikan sumbangan berarti bagi upaya transformasi pendidikan. Inilah yang akan diurai dalam tulisan ini.
Dua Masalah Mendasar
Tugas pokok pengawas pada dasarnya ada tiga; mengawasi, menilai, dan membina. Sekilas tidak ada masalah dalam tugas pokok ini. Semuanya baik-baik saja. Tetapi akan krusial ketika ditanyakan, bagaimana tugas pokok itu dilakukan?
Pertanyaan di atas berarti menyangkut metodologi. Metodologi yang memungkinkan tugas pokok bisa dilakukan dengan tepat. Tetapi inilah masalahnya, pengawas di lapangan malah menggunakan metodologi yang justru menjadikan tugas pokoknya kurang maskimal. Kenapa?
Setidaknya, ada dua hal yang membuat pengawas sulit mendorong upaya transformasi pendidikan dalam sistem seperti sekarang. Pertama, karena sistem rekruitmen pengawas kurang jelas. Desas-desus yang berkembang menyebutkan jabatan pengawas hanya transit sebelum pensiun.
Mungkin dasar pilihan terhadap ”mepet pensiunan” didasarkan atas senioritas. Senioritas jika dimaknai memiliki pengalaman dan kapasitas kependidikanan yang mumpuni, tentu tidak masalah. Tetapi jika senioritas dimaknai dari sudut usia, permasalahannya menjadi lain. Saya jadi ingat jingle iklan sebuah rokok di TV, ”menjadi tua itu pasti menjadi dewasa itu pilihan”. Lucu bukan, jika senior diartikan tua?
Lebih berbahaya lagi jika pengangkatan pengawas merupakan hasil klik dan pertarungan kekuasaan dalam birokrasi pendidikan. Sudah bukan rahasia lagi, pertarungan kekuasaan dalam birokrasi pendidikan mengakibatkan orang/kelompok tertentu dipangkas perannya. Jalan untuk memangkas peran dengan menempatkan ”lawan” dalam jabatan yang lemah aksesnya untuk mempengaruhi kebijakan. Salah satunya, ditempatkan sebagai pengawas, sebagaimana yang dialami teman saya.
Kedua, persoalan metodologi atau pendekatan yang digunakan. Banyak pengawas yang dalam prakteknya menjalankan tugas menggunakan pendekatan kekuasaan. Pendekatan kekuasaan meniscayakan kebenaran memusat. Kebenaran hanya milik pengawas, sementara sekolah yang diawasi ”salah”, ”lemah”, dan ”tidak tahu apa-apa”.
Pendekatan kekuasaan dalam dunia pendidikan merupakan petaka. Ia menusuk langsung ke jantung pendidikan yang mengemban missi pembebasan. Ia telah menutup ruang dialog, satu proses yang sebenarnya wajib dilalui untuk menyemai pikiran-pikiran cerdas dan kreatif.
Pendekatan kekuasaan juga melucuti konteks historis dan sosial-budaya, dimana sekolah itu berada. Karena lingkungan sosial-budaya turut membentuk kultur pendidikan, dipastikan pendekatan kekuasaan tidak akan mampu menyelami permasalahan pendidikan di lingkungan sosial-budaya tertentu. Pendekatan kekuasaan hanya kenal satu prinsip, homogenisasi. Pada hal homogenisasi akan menghancurkan keunikan lingkungan sosial-budaya yang melingkupi suatu sekolah. Pada gilirannya, keunikan dari masing-masing satuan pendidikan juga akan hilang.
Sebuah Tawaran
Setidaknya ada tiga hal yang akan ditawarkan saya untuk merevitalisasi peran pengawas pendidikan ke arah yang lebih transformatif. Pertama, sistem rekruitmennya perlu dibenahi. Barangkali perlu dibuat kreteria yang jelas menyangkut kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengawas, misalnya, pengetahuan managemen pendidikan dan metodologi pembelajaran yang inovatif. Tentu saja masih banyak aspek lain yang harus dikuasai. Tetapi dua hal ini menjadi penting karena menjadi titik lemah hampir semua sekolah di Indonesia.
Syukur jika dua hal di atas disertai pengalaman. Konsekuensinya, pengawas harus direkrut dari praktisi pendidikan, bukan birokrat pendidikan. Kenyataan bahwa pengawas hanya transit sebelum pensiun juga harus diakhiri. Yang muda perlu diberikan hak, asal memiliki kualifikasi seperti di atas. Konsekuensinya, jabatan pengawas harus dihargai, misalnya dengan memberikan gaji dan tunjangan yang tinggi.
Jika sulit menemukan pengawas yang memiliki kualifikasi seperti itu, maka diperlukan upgrading, (misalnya pelatihan, workshop, dll) yang dilakukan secara berkala untuk meningkatkan kemampuan pengawas. Up grading juga bisa menjadi tempat sharing dan refleksi antar pengawas terhadap permasalahan yang ditemui di lapangan.
Kedua, tak cukup pengetahuan, pengawas diperlukan menguasai model-model pengawasan partisipatif. Pengawasan partisipatif yang saya maksudkan adalah pengawasan yang melibatkan kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidikan lainnya. Semua yang terlibat dalam pengawasan partisipatif duduk setara, tanpa ada pihak yang merasa lebih tahu. Semua menjadi manusia pembelajar. Dengan model ini, sekolah yang diawasi tidak merasa dihakimi, tetapi dengan sendirinya akan bisa mengawasi, menilai, dan membina sendiri.
Salah satu metodologi yang bisa digunakan dalam pengawasan partisipatif adalah Focus Group Discussion (FGD) atau workshop. Di sini, pengawas dituntut memiliki keterampilan menjadi fasilitator pendidikan andragogi, sebagaimana digunakan oleh kawan-kawan NGO. Model ini diharapkan bisa merubah tradisi pendekatan kekuasaan yang inheren dalam kerja-kerja pengawas selama ini.
Ketiga, hasil dari pengawasan patisipatif sangat penting disampaikan kepada pengambil kebijakan. Peta masalah-masalah di sekolah yang menjadi tanggungjawab pengawas akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan yang diputuskan akan nyambung dengan permasalahan yang terjadi di lapangan.
Saya sadar, tugas ini memang berat. Rumitnya problem pendidikan tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pengawas. Tetapi tak ada salahnya jika pengawas didorong untuk melakukan kerja-kerja konkrit bagi upaya transformasi pendidikan. Semoga.
Pengalaman saya, setiap kali madrasah kedatangan pengawas, sudah bisa ditebak apa yang akan disampaikan. Yang paling sering, pengawas melakukan penilaian sepihak. Mungkin karena posisinya sebagai ”pembina”, seolah absah bagi pengawas untuk melakukan ”pembinaan”. Saya terpaksa menggunakan tanda petik mengingat kenyataannya pengawas sering underestimate dan menilai kelemahan (lebih-lebih kepada sekolah swasta), tanpa memahami konteks masalah apalagi mengajukan solusinya.
Pengalaman di atas bukan kasuistik. Ketika saya menanyakan pengalaman sekolah lain, ternyata kerja pengawas tak jauh beda. Menanyakan berapa jumlah guru, jumlah siswa, atau menanyakan hal-hal lain yang tidak substansial. Selebihnya –mungkin ini yang paling wajib—menandatangani. Sampai berkas penilaian terhadap guru yang mau mengikuti sertifikasi juga harus ditandatangani pengawas. Masalah kemudian muncul. Bisakah pengawas menjadi assesor, sementara tugasnya selama ini sangat tehnis-administratif?
Barangkali sudah harus digagas, bagaimana pengawas dikembangkan kapasitasnya untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Dengan mengandaikan pengawas layaknya konsultan pendidikan, yang tahu betul permasalahan pendidikan, tentu akan memberikan sumbangan berarti bagi upaya transformasi pendidikan. Inilah yang akan diurai dalam tulisan ini.
Dua Masalah Mendasar
Tugas pokok pengawas pada dasarnya ada tiga; mengawasi, menilai, dan membina. Sekilas tidak ada masalah dalam tugas pokok ini. Semuanya baik-baik saja. Tetapi akan krusial ketika ditanyakan, bagaimana tugas pokok itu dilakukan?
Pertanyaan di atas berarti menyangkut metodologi. Metodologi yang memungkinkan tugas pokok bisa dilakukan dengan tepat. Tetapi inilah masalahnya, pengawas di lapangan malah menggunakan metodologi yang justru menjadikan tugas pokoknya kurang maskimal. Kenapa?
Setidaknya, ada dua hal yang membuat pengawas sulit mendorong upaya transformasi pendidikan dalam sistem seperti sekarang. Pertama, karena sistem rekruitmen pengawas kurang jelas. Desas-desus yang berkembang menyebutkan jabatan pengawas hanya transit sebelum pensiun.
Mungkin dasar pilihan terhadap ”mepet pensiunan” didasarkan atas senioritas. Senioritas jika dimaknai memiliki pengalaman dan kapasitas kependidikanan yang mumpuni, tentu tidak masalah. Tetapi jika senioritas dimaknai dari sudut usia, permasalahannya menjadi lain. Saya jadi ingat jingle iklan sebuah rokok di TV, ”menjadi tua itu pasti menjadi dewasa itu pilihan”. Lucu bukan, jika senior diartikan tua?
Lebih berbahaya lagi jika pengangkatan pengawas merupakan hasil klik dan pertarungan kekuasaan dalam birokrasi pendidikan. Sudah bukan rahasia lagi, pertarungan kekuasaan dalam birokrasi pendidikan mengakibatkan orang/kelompok tertentu dipangkas perannya. Jalan untuk memangkas peran dengan menempatkan ”lawan” dalam jabatan yang lemah aksesnya untuk mempengaruhi kebijakan. Salah satunya, ditempatkan sebagai pengawas, sebagaimana yang dialami teman saya.
Kedua, persoalan metodologi atau pendekatan yang digunakan. Banyak pengawas yang dalam prakteknya menjalankan tugas menggunakan pendekatan kekuasaan. Pendekatan kekuasaan meniscayakan kebenaran memusat. Kebenaran hanya milik pengawas, sementara sekolah yang diawasi ”salah”, ”lemah”, dan ”tidak tahu apa-apa”.
Pendekatan kekuasaan dalam dunia pendidikan merupakan petaka. Ia menusuk langsung ke jantung pendidikan yang mengemban missi pembebasan. Ia telah menutup ruang dialog, satu proses yang sebenarnya wajib dilalui untuk menyemai pikiran-pikiran cerdas dan kreatif.
Pendekatan kekuasaan juga melucuti konteks historis dan sosial-budaya, dimana sekolah itu berada. Karena lingkungan sosial-budaya turut membentuk kultur pendidikan, dipastikan pendekatan kekuasaan tidak akan mampu menyelami permasalahan pendidikan di lingkungan sosial-budaya tertentu. Pendekatan kekuasaan hanya kenal satu prinsip, homogenisasi. Pada hal homogenisasi akan menghancurkan keunikan lingkungan sosial-budaya yang melingkupi suatu sekolah. Pada gilirannya, keunikan dari masing-masing satuan pendidikan juga akan hilang.
Sebuah Tawaran
Setidaknya ada tiga hal yang akan ditawarkan saya untuk merevitalisasi peran pengawas pendidikan ke arah yang lebih transformatif. Pertama, sistem rekruitmennya perlu dibenahi. Barangkali perlu dibuat kreteria yang jelas menyangkut kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengawas, misalnya, pengetahuan managemen pendidikan dan metodologi pembelajaran yang inovatif. Tentu saja masih banyak aspek lain yang harus dikuasai. Tetapi dua hal ini menjadi penting karena menjadi titik lemah hampir semua sekolah di Indonesia.
Syukur jika dua hal di atas disertai pengalaman. Konsekuensinya, pengawas harus direkrut dari praktisi pendidikan, bukan birokrat pendidikan. Kenyataan bahwa pengawas hanya transit sebelum pensiun juga harus diakhiri. Yang muda perlu diberikan hak, asal memiliki kualifikasi seperti di atas. Konsekuensinya, jabatan pengawas harus dihargai, misalnya dengan memberikan gaji dan tunjangan yang tinggi.
Jika sulit menemukan pengawas yang memiliki kualifikasi seperti itu, maka diperlukan upgrading, (misalnya pelatihan, workshop, dll) yang dilakukan secara berkala untuk meningkatkan kemampuan pengawas. Up grading juga bisa menjadi tempat sharing dan refleksi antar pengawas terhadap permasalahan yang ditemui di lapangan.
Kedua, tak cukup pengetahuan, pengawas diperlukan menguasai model-model pengawasan partisipatif. Pengawasan partisipatif yang saya maksudkan adalah pengawasan yang melibatkan kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidikan lainnya. Semua yang terlibat dalam pengawasan partisipatif duduk setara, tanpa ada pihak yang merasa lebih tahu. Semua menjadi manusia pembelajar. Dengan model ini, sekolah yang diawasi tidak merasa dihakimi, tetapi dengan sendirinya akan bisa mengawasi, menilai, dan membina sendiri.
Salah satu metodologi yang bisa digunakan dalam pengawasan partisipatif adalah Focus Group Discussion (FGD) atau workshop. Di sini, pengawas dituntut memiliki keterampilan menjadi fasilitator pendidikan andragogi, sebagaimana digunakan oleh kawan-kawan NGO. Model ini diharapkan bisa merubah tradisi pendekatan kekuasaan yang inheren dalam kerja-kerja pengawas selama ini.
Ketiga, hasil dari pengawasan patisipatif sangat penting disampaikan kepada pengambil kebijakan. Peta masalah-masalah di sekolah yang menjadi tanggungjawab pengawas akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan yang diputuskan akan nyambung dengan permasalahan yang terjadi di lapangan.
Saya sadar, tugas ini memang berat. Rumitnya problem pendidikan tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pengawas. Tetapi tak ada salahnya jika pengawas didorong untuk melakukan kerja-kerja konkrit bagi upaya transformasi pendidikan. Semoga.
2 Responses so far.
saya sangat setuju gagasannya
terimakasih telah berkunjung
Posting Komentar