Istri teman saya suatu hari bercerita kalau anaknya pernah menangis di depan toko mainan yang dia lintasi. Penyebabnya karena ia tidak menuruti kemauan anaknya untuk membeli mainan. Kebetulan anaknya memang tidak merencanakan membeli mainan ketika berangkat dari rumah. Meski menangis menjadi-jadi, tetap istri teman saya tidak menggubrisnya. Sebagaima seorang ibu, tentu ia merasa malu karena tangisan anaknya menjadi perhatian banyak orang. Saya (awalnya) juga tidak memahami, begitu teganya istri teman saya ini membiarkan anaknya menangis hanya karena sebuah mainan.
Ketika saya tanya kenapa tidak menuruti, pada hal harga mainan yang diminta tidaklah mahal. “apa kamu gak sayang anak?”. Istri teman saya menjawab, “justru saya tidak menuruti, karena saya sayang anak. Tapi sayang dalam jangka panjang. Coba kalau setiap rengekannya saya turuti, pasti dia akan boros dan menjadi penuntut. Mungkin gak masalah kalau saya masih hidup. Lha kalau saya gak ada, terus dia akan menuntut sama siapa?”. Saya hanya manggut-manggut mendengar jawabannya.
Bagi saya, “sayang anak jangka panjang” terus terang merupakan pembendaharaan kata baru. Pada awalnya saya agak susah mengunyahnya. Saya mencurigai istilah ini sebenarnya merupakan tindakan pendisiplinan kaku terhadap anak. Anak seolah-olah tidak boleh memiliki keinginan spontan sehingga semuanya harus direncakan. Anak , meski sewaktu-waktu, tidak boleh menuntut karena semuanya harus “dinegosiasikan”.
Meski demikian, saya sepakat pada prinsipnya. Dari sini saya harus mengapresiasi cara “sayang anak jangka panjang” model istri teman saya ini. Setidaknya saya mencatat ada beberapa prinsip mendidik anak dari istilah “sayang anak jangka panjang ini” :
- Anak perlu dididik bahwa memperoleh sesuatu itu tidaklah instan. Tidaklah mudah, semudah membalikkan tangan. Memperoleh sesuatu ada prosesnya. Maka ada benarnya juga orang tua misalnya tidak langsung membelikan sesuatu yang dituntut anak, meski harganya murah. Mungkin ditunda sampai besok, 2 hari lagi, satu bulan, atau satu tahun tergantung mahal tidaknya barang yang dituntut itu. Setidaknya dengan menunda tuntutan anak, anak menjadi paham bahwa semua butuh proses. 1 hari saja ditunda, anak dalam 1 hari itu sudah bisa belajar menjauhi sikap ketergesaan.
- Anak perlu dididik mengelola emosi. Kesabaran adalah kata kunci dalam pengelolaan emosi. Kekecewaan yang dialami anak –tentu bukan dalam bentuknya yang ekstrem— akan menjadi pengalaman berharga bagi anak bahwa hidup tidaklah liner. Tetapi hidup berbelok-belok. Kadang malah harus jatuh bangun. Pengelolaan emosi akan mengantar anak dalam mencerdaskan emosinya.
- Anak perlu dididik membeli sesuatu berdasar atas kebutuhan, bukan keinginan. Maka merencanakan sesuatu sebelum datang ke toko atau swalayan menjadi sangat penting. Pengalaman saya, karena tidak merencanakan bersama anak apa yang mau dibeli, anak saya sesukanya mengambil barang di swalayan.
- “Sayang anak jangka panjang ini” sebenarnya kritik bagi orang tua yang terjebak pada “sayang anak jangka pendek”. Istilah terahir inilah yang akhir-akhir ini saya lihat banyak menyerang orang tua. Atas nama sayang, begitu mudahnya mengobral uang membelikan tuntutan anak. Tidak salah jika anak saat ini banyak yang manja dan penuntut.
Matorsakalangkong
Sumenep, 14 Maret 2011
Posting Komentar