kompas.com |
Saya ikut sedih mendengar mas ulil dikirimi bom. Bagi saya, kiriman bom oleh orang mesterius itu adalah bentuk kegagalan untuk bahagia. orang yang dijangkiti perasaan paranoid yang selalu melihat sekeliling, apalagi yang berbeda, sebagai ancaman. Bisakah disebut bahagia, jika hidupnya selalu merasa terancam? Kalau bahagia, kenapa mesti ngebom?
Jika mau jujur mas ulil, sebenarnya yang menjadi korban bukan mas. Tapi pikiran orang itu sendiri. Pikiran yang kejernihannya sudah kabur. Sulit dibedakan dengan hawa nafsu. Meski itu harus dibungkus oleh keyakinan sekalipun. Tapi sudahlah. Si mesterius sudah kalah. Setidaknya kalah sama hawa nafsunya sendiri yang menuntunnya melakukan kejahatan kemanusiaan. Saya yakin, mas ulil pasti tegar. Setegar perjuangan mas ulil yang sedikit saya tahu.
Mas ulil tidak kenal saya, tapi saya kenal mas ulil. Pada tahun 1993 ketika saya masih kuliah di IAIN (sekarang UIN) Ciputat, saya pernah bertemu dengan mas ulil di sebuah kelompok kajian. Kalau tidak salah waktu itu lagi ikut dialog bersama franz magnis susesno. Ketika itu mas ulil masih belum setenar sekarang. Malah mas ulil, ketika itu (maaf) masih “culun”.
Lambat tapi pasti, mas ulil makin dikenal. Bersama kawan-kawan lain, mas ulil membentuk forum kajian 164 yang bermarkas di kantor PBNU. Sesekali mas ulil menulis di media nasional atau jurnal. Tulisan mas ulil memang kritis. Menukik. Saya masih ingat, salah satu tulisan yang pernah saya baca berjudul “Mega Politik Vs Politik Mega”. Sebuah tulisan yang mencermati kondisi politik di era orde baru, people power yang digalang megawati soekarno poetri dan struktur mega politik yang dibangun orde baru.
Saya mengakui mas ulil seorang memang pembelajar sepanjang hayat sebagaimana umumnya para santri yang haus ilmu. Mas ulil tidak pernah letih melakukan ziarah intelektual. Sejak literatur arab klasik hingga kontemporer dibaca habis. Kitab itu disandingkan dengan pemikiran Marx, Hegel, Madzhab Frankfut hingga pemikir Posmo. Tak heran jika pemikiran mas ulil eklektik. Saling serap bahkan saling-silang karena literatur mas ulil memang sangat kaya. Melampaui bacaan para santri biasa.
Mas ulil yang terhormat...
Saya yakin sebagaimana santri yang lain, mas Ulil pasti mengeidolakan Gus Dur. Gus Dur sosok idola yang telah meretas batas-batas yang selama ini menghambat pemikiran santri. Dialah yang mendorong santri berani hidup dalam “kultur hybrid”.
Pada saat pemerintah orde baru Gus Dur menjadi simbol kekuatan civil society. Gus Dur menjadi simbol perlawanan. Dan mas Ulil yang haus akan perubahan ada di belakangnya. Wajar, jika mas Ulil di Muktamar Cipasung membela Gus Dur yang ketika itu didhalimi oleh pemerintah orba. Saya yang kebetulan hadir waktu itu melihat mas Ulil membakar salah satu koran nasional yang menjadi corong penguasa dan mendiskriditkan Gus Dur. Bahkan saya ketika itu sempat ngobrol bersama mas Ulil.
Setelah orde baru tumbang diganti rezim reformasi, mas ulil menginisiasi lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL menyita perhatian orang. JIL sering memunculkan gagasan kontroversial. Karena sering memunculkan gagasan kontroversial, kelompok tertentu memandang JIL sebagai “jaringan iblis”, sesat, dan halal darahnya untuk dibunuh. Belum lagi tuduhan bahwa JIL memperoleh dana dari “agen-agen kapitalis”. Kelompok ini di setiap kesempatan mengampanyekan JIL sebagai kelompok sesat yang harus dijauhi. Meski saya berbeda dalam banyak hal dengan mas Ulil, sungguh saya ngeri mendengar kata-kata “sesat”, “kafir”, dan “murtad” yang begitu mudah diucapkan kepada sesama muslim.
Mas Ulil..sebagai seorang yang sekarang hidup di desa, memang dalam banyak hal saya memiliki pemikiran yang tidak sama dengan mas Ulil. Gagasan-gagasan JIL terlalu rumit, abstrak, dan tidak membumi. Lebih banyak membingungkan dari pada mencerahkan. Setidaknya kepada orang kampung seperti saya. Maklum, meski pendidikan saya dihabiskan di pesantren, saya tidak menguasai literatur arab klasik. Atau literatur kontemporer sebagaimana sering dirujuk mas Ulil. Dalam kebodohan saya wajar jika saya tidak sepenuhnya memahami, untuk kepentingan siapa sebenarnya pemikiran JIL dikampanyekan?
Saya setidaknya memiliki pertanyaan dalam beberapa hal. Pertama, kata “liberal” dalam JIL, apakah ikut melapangkan ideologi neo-liberalisme dalam bidang ekonomi di Indonesia? Maaf, dulu (lupa tanggalnya) saya sempat kaget ketika JIL ikut menandatangani pernyataan menyetujui pengurangan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah SBY bersama NGO lainnya.
Kedua, gagasan demokrasi, HAM, pluralisme, dan gender yang dipraktekkan di Indonesia haruskah sama dengan konsep sebagaimana dipahami negara eropa dan amerika? Bagi saya, secara sosiologis, permasalahan agak pelik. Konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia tidaklah sama dengan masyarakat eropa atau amerika. Gagasan-gagasan itu tidak bisa begitu saja asal comot kemudian diadopsi tanpa ada modifikasi. Apalagi sampai di embeli-embeli Islam. Inilah mungkin penyebab, kenapa gagasan JIL ditolak oleh banyak kalangan. Termasuk masyarakat NU, dimana mas ulil dibesarkan. Bedanya, kalau masyarakat NU tidak sampai menyesatkan atau mengkafirkan. Karena wilayah “sesat dan kafir” dipandang sebagai wilayah Allah.
Ketiga, kadang-kadang gagasan yang disuarakan JIL berlangsung dalam “seolah-olah gawat”. Saya menyontohkan persoalan pluralisme. Sebenarnya permasalahan di bawah tidak segawat yang diwacanakan. Di rumah saya, biasa “warga keturunan” yang non-muslim ikut tahlilan ketika ada tetangganya yang meninggal. Tentu dia tidak ikut baca. Cukup duduk sebagai bagian dari rasa duka dia terhadap tetangganya yang meninggal. Kata teman saya, justru semakin pluralisme diwacanakan, seolah-olah persoalan pluralisme semakin gawat. Pada hal realitasnya tidak gawat. Hanya di wilayah-wilayah tertentu mungkin memang gawat.
Itulah tiga uneg-uneg saya untuk JIL mas Ulil. Tetapi meski berbeda, saya harus menghargai mas Ulil. Saya juga tidak setuju sama orang yang begitu mudahnya melebeli orang yang berbeda sebagai “murtad”, “kafir”, atau “sesat”. Tak pantas saya melakukannya. Apalagi hanya karena tidak setuju harus melakukan ancaman atau melakukan kekerasan. Atas alasan apapun, ideologis atau politis, kekerasan tidak bisa dibenarkan.
Mas ulil yang terhormat...
Rupanya mas sekarang sudah tertarik masuk wilayah politik. Tak tanggung-tanggung mas menjadi Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan pada kepengurusan PD 2010-2015. Mas masuk dalam partai penguasa yang kebijakannya semakin dipertanyakan oleh masyarakat. Mas masuk lingkaran kekuasaan yang kebijakan ekonominya sangat neo-liberal.
Tetapi saya tetap “berbaik sangak”, mas Ulil pasti melakukan banyak hal masuk dalam struktur kekuasaan. Tentunya untuk kesejahteraan rakyat. Apalagi mas Ulil memiliki akses langsung untuk mendesain kebijakan pemerintah saat ini dilihat dari jabatan mas Ulil.
Terakhir mas...Saat saya mengikuti dialog Gus Mus, mertua mas, di sebuah pondok pesantren di Sumenep, ada yang mempertanyakan keterlibatan mas ulil di JIL. Gus Mus (semoga saya tidak salah mendengar) menjawab begini, “saya tidak merisaukan keterlibatan Ulil di JIL, yang penting Ulil tidak boleh berhenti belajar. Jika berhenti belajar, orang akan jatuh pada kesombongan”.
Meski saat ini mas Ulil sedang kena musibah, tak perlulah mas Ulil risau. Mas Ulil harus tetap tegar. Juga jangan berhenti berproses, jangan berhenti belajar. Semua pasti ada hikmahnya mas..
Demikian surat duka saya...
Salam dan matorsakalangkong
Posting Komentar