diofiliandro.blogspot.com |
Saya tidak banyak mengikuti perkembangan UIN Jakarta sejak saya lulus tahun 1997 dari kampus yang dulu bernama IAIN ini. sejak tahun 2002 IAIN berubah menjadi UIN yang ditandai dengan membuka fakultas dan jurusan baru. Sewaktu masih IAIN hanya ada lima fakultas (Tarbiyah, Syari’ah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah) yang seluruhnya membuka jurusan agama. Saat ini ketika menjadi UIN Fakultas Ilmu ada perubahan nama fakultas dan juga membuka fakultas baru yaitu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Adab dan Humaniora, Ushuluddin dan Filsafat, Syari’ah dan Hukum, Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Dirasat Islamiyah, Psikologi, Ekonomi dan Ilmu Sosial, Sains dan Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
Perubahan dari IAIN menjadi UIN serta pembukaan jurusan-jurusan baru, tentu ikut merubah basis mahasiswa yang masuk ke UIN. Jika IAIN dulu mayoritas mahasiswanya berlatarbelakang pondok pesantren yang secara ekonomi sebagian besar dari kelas menengah ke bawah, saat ini tentu mengalami perubahan. Fakultas-fakultas baru seperti ekonomi, sains dan tehnologi, kedokteran, psikologi menurut informasi tetangga saya yang saat ini kuliah di UIN, sebagian besar dihuni oleh mahasiswa kelas menengah/atas yang latar belakang pendidikannya tidak berasal dari pesantren.
Menarik untuk dilihat, apakah perubahan basis ekonomi dan pendidikan mahasiswa di UIN ikut mempengaruhi pola keagamaannya? Apakah Islam rasional (meski saya alergi sama gagasan ini) yang dikembangkan oleh Harun Nasution masih kuat mewarnai pandangan keislaman mahasiswanya? Apakah basis ekonomi dan latar belakang mahasiswa juga merubah konsfigurasi kajian-kajian dan organisasi mahasiswa yang dulu demikian hidup? Bukankah motto kampus ini ingin mengintegrasikan keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan sebagaimana yang digagas Nurcholis Madjid?
Sewaktu saya kuliah dulu di era 90-an memang ada teman yang bercerita jika di kosnya didatangi orang yang mengajak untuk masuk NII. Tapi setahu saya tak ada teman yang tertarik. Barangkali karena dulu rata-rata mahasiswa IAIN banyak yang berasal dari pesantren yang lumayan memiliki pemahaman keagamaan. Waktu itu, kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki pandangan Islam keras bisa dihitung jari. Biasanya mereka aktif di lembaga dakwah kampus (LDK) yang dikenal dengan nama ‘kelompok usrah’.
Di samping itu ada dua trend yang mencirikan mahasiswa IAIN Ciputat waktu itu. Pertama, mahasiswa ciputat dikenal sering melakukan aksi-aksi melawan rezim orba yang refresif. Bahkan di tahun 1996 kampus IAIN pernah dikepung massa Golkar –partai pendukung rezim orba. Kedua, di kampus IAIN bertebaran kelompok diskusi dan kajian seperti formaci (forum mahasiswa ciputat), piramida circle (kelompok kajian kaum muda NU dimana saya dan kompasianer Maman A Rahman aktif) dan flamboyant shelter untuk menyebut beberapa saja. Belum lagi dinamika organisasi ekstra seperti PMII, HMI, dan IMM. Saya mengalami sendiri begitu dinamisnya tradisi kajian dan tradisi beroganisasi ketika itu.
Cuma ada sesuatu yang selalu menjadi bahan refleksi subyektif saya waktu dulu kuliah di IAIN Jakarta. Saya melihat IAIN tidak ramah tradisi. Ketika bicara tradisi dan khazanah keislaman tak bisa dilepaskan dari NU. Selama 7 tahun saya di sana, sangat jarang IAIN mengadakan seminar, workshop, atau kegiatan ilmiah lainnya yang mengangkat NU beserta kekayaan tradisinya. IAIN begitu silau sama gagasan-gagasan Islam modern dan rasional, yang pada derajat tertentu telah dibakukan menjadi “madzhab ciputat” oleh pendukungnya.
Jika ‘Islam rasional’ atau belakangan memetamorphose menjadi ‘Islam liberal’ terus berkembang di UIN saat ini bisa dipastikan akan muncul pengimbangnya yang tak kalah ekstrimnya, Islam garis keras. Saya menyimpulkan, dua model Islam ini sama-sama menggerogoti nilai-nilai kebangsaan. Karena dua model ini kurang ditemukan jangkarnya dalam pandangan keislaman mainstream di negeri ini yang memang ramah tradisi. Maka kajian-kajian terhadap khazanah dan keislaman nusantara perlu memperoleh tempat di UIN. Kalau perlu dimasukkan dalam kurikulum UIN.
Saya percaya UIN Jakarta bukanlah sarang teroris. Tetapi perubahan menjadi UIN yang juga memungkinkannya menerima mahasiswa dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang kian beragam, kiranya perlu diantisipasi oleh UIN sendiri. Fakultas sains dan tehnologi perlu dibekali kajian keagamaan yang memungkinkannya memahami Islam yang rahmat lil alamin, yang menjadi karakter Islam Indonesia. Karena fakultas inilah yang biasanya menjadi target dari kelompok Islam garis keras. Semoga Pepi tidak meninggalkan anak-pinak di UIN Jakarta, yang selalu mengklaim kampus pembaharu itu.
_____________________________________________________________________________________
Catatan
- Secara administratif UIN sebenarnya masuk wilayah Tanggerang, Banten. Tapi ngakunya UIN Jakarta, mungkin lebih keren kali ya…
Posting Komentar