Kemarin, sore hari menjelang maghrib, anak pertama saya yang masih berusia 7 tahun, Najmi al-Adiliyah (adel), buru-buru menemui saya sehabis dari warung disuruh umminya.
“Ba..di sana (di rumah tetangga) ada bapak-bapak lagi jualan keranjang. Katanya bapak itu dari Sampang ba..Jalan kaki lagi”.
Saya perhatikan anak saya begitu seriusnya ngomong. Dia bilang lebih dari sekali menjelaskan kalau bapak dari Sampang. Sampang adalah kabupaten lain di pulau Madura yang jaraknya dari Sumenep, tempat saya tinggal, sekitar 80 km
“terus, maunya adel apa?”, tanya saya.
“ Ya, dibeli keranjangnya ba. Kasihan, bapak-bapak itu jualannya tidak laku. Bapak itu jalan kaki ba. Adel lihat tadi bu guru beli dua. Adel mau manggil bapak itu ke sini ya?”.
Karena begitu seriusnya anak saya agar membeli, akhirnya istri dan anak saya ke rumah tetangga untuk melihat bapak yang jualan keranjang. Atas desakan anak, istri saya membeli satu keranjang. Meski sebenarnya tidak terlalu butuh, tetapi dipaksakan beli untuk menghargai usulan anak yang kelihatannya tak tega melihat bapak yang jualan keranjang itu.
Saya bersyukur melihat anak perempuan kami bisa mulai berempati pada ‘penderitaan’ orang lain. Mau belajar memedulikan orang lain. Kepedulian yang sudah dimilikinya kini, semoga akan terus berlipat sehingga kecerdasan emosinya akan terbentuk kuat mengiringi pertambahan umurnya hingga ia dewasa kelak. Satu lagi yang membuat saya bahagia, usaha yang dibangun secara istiqamah bersama istri selama ini, mendidik anak untuk peduli terhadap sesama, sudah mulai berbuah.
Bersama istri saya memang meluangkan waktu 5-10 menit untuk selalu mendiskusikan perkembangan anak. Dalam diskusi itu kami selalu menyamakan pandangan tentang penanaman nilai-nilai dan cara menananamkannya kepada anak. Seringkali dalam diskusi yang hanya sebentar itu menemukan cara-cara yang tidak terduga. Dalam diskusi itu juga kami sempatkan untuk mengevaluasi kekurangan kami dalam mendidik anak. Meski sebentar, saya merasakan diskusi itu sangat bermanfaat.
Kasus di atas sebenarnya merupakan buah dari proses panjang dalam mendidik kepedulian anak yang kami lakukan . Pendidikan kepedulian itu sudah kami tanamkan sejak berusia usia dini, lebih-lebih ketika berumur 2-5 tahun, saat dia sudah mulai memahami perkataan orang dewasa. Cara-cara itu misalnya :
Jika anak sedang makan cemilan sambil main dengan temannya, kami selalu menganjurkan untuk membagikan kepada temannya. Kalau temannya banyak, cemilan itu harus tetap dibagikan, meski mungkin harus “dipotong” menjadi kecil-kecil agar semua kebagian. Kami selalu bilang sama anak, “jika adel gak ngasih, namanya itu hutang mata”. Kalau anak kebetulan tidak mau untuk membagi cemilannya karena sedikit, maka anak saya larang untuk makan di hadapan teman-temannya.
Kami selalu mengajak anak untuk selalu bersyukur. Karena itu kami sangat keras jika anak membuang-buang makanannya. Jika dia makan, nasi di piring tak boleh ada sisa sebutir pun. Untuk membangun empatinya, kami selalu bilang, “jika masih ada sebutir nasi di piringmu, berarti adel membuang rizki Tuhan. Di hari kiamat kelak, nasi itu akan menuntut kepada Tuhan, karena tidak dimakan sama adel. Nasi itu akan bilang sama Tuhan, “banyak orang yang tidak makan meski sebutir nasi pun, malah adel menyia-nyiakannya Tuhan”.
Jika ada orang yang minta-minta, saya usahakan anak yang memberikan. Dengan begitu anak akan mengalami langsung menerapkan kepeduliannya.
Anak saya sewaktu-waktu saya bawa ke sawah. Bermain di beceknya lumpur sambil menceritakan proses bagaimana padi ditanam hingga sampai ke piring berwujud nasi. Dengan memahami proses panjang apa yang dimakannya, diharapkan bisa mendorong dia untuk tidak membuang-buang rizki Tuhan, tetapi harus disyukuri dengan memakannya.
Jika melihat orang yang tidak beruntung, saya selalu mengajaknya berdialog, sambil menyelipkan pesan jika anak saya memiliki rizki, menjadi kewajiban adel untuk membantunya
Jika ada saudara, tetangga, atau temannya sakit, paling tidak kami selalu mengajaknya untuk berdo’a dan memohonkan agar yang sakit segera disembuhkan oleh Allah SWT.
Itulah sedikit pengalaman saya mendidik kepedulian anak. Terus terang apa yang saya lakukan bukanlah hal baru. Meski sederhana, tetapi prakteknya sangat sulit. Karena menanamkan nilai butuh kesabaran dan konsistensi. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar