Pengalaman kawan Saya dari Banten
Tahun 2008, seorang kawan berasal dari Serang yang sudah 10 tahun tidak bertemu, tiba-tiba menelpon saya. Ternyata dia dapat nomer saya dari seorang kawan kami di Jakarta.
“Cong, saya mau ke madura nih”, dia menegaskan niatnya setelah basa-basi “say hello”. Saya tentu senang ada kawan lama mau main ke rumah.
“Kapan?”
“Besok”.
“Kok dadakan sih..”.
“Mumpung ada duit. Kalau ditunda, duit bisa habis cong. Eh..sekalian saya carikan kerja ya”.
“Kerja? Kerja apaan. Orang madura saja merantau, malah situ mau kerja di madura. Ya... sudah berangkat saja dulu. Soal kerja kita bicarakan di rumah”, saya coba meyakinkan. Meski sebenarnya saya bingung, mau nawarkan pekerjaan apa.
Besoknya dia benar berangkat ke Madura. Ini kali pertama dia ke Madura. Di perjalanan naik bis, saya selalu mengontaknya. Saya bilang, jika bis sampai di terminal terahir, berarti itu sumenep, kabupaten paling ujung timur di Madura.
Setelah kawan saya menempuh perjalanan sehari-semalam dengan bis, akhirnya ia tiba juga di rumah saya. Kami ngobral ngalor-ngidul bernostagia ketika sama-sama kuliah di IAIN Ciputat. Kawan saya ini dulu ngambil sastra arab, meski kuliahnya putus di tengah jalan.
Ketika bicara lebih serius, ternyata dia bukan sekedar main. Dia sudah bulat mau tinggal di Madura. Artinya, dia mau kerja sekaligus mau menikah di Madura. Kawan saya ini kebetulan memang bujang. Usianya lebih dari cukup untuk menikah, 36 tahun.
Mulai Usaha, Bangkrut
1,5 bulan di rumah saya, belum ada pekerjaan yang bisa sama saya tawarkan sama dia. Sudah saya kontak kawan-kawan untuk mencari peluang kerja, tapi sulitnya bukan main. akhirnya saya bilang sama dia.
“Gimana kalau situ ikut falsafah orang Madura, nikah dulu, kerja bisa nyusul belakangan”.
“Terus istri mau dikasih makan apa, kalau saya gak kerja. Gak deh...saya harus kerja dulu, baru nikah”.
Saya sadar tidak mudah merubah pandangan hidup seseorang yang dibesarkan dalam latar belakang budaya berbeda. Pada hal di Madura, orang yang menikah sebelum bekerja sudah dianggap biasa.
Karena dia sedikit punya keterampilan masak, akhirnya diputuskan untuk buka warung mie ayam. Tapi yang mucul kemudian, modalnya dari mana. Karena terus terang, kawan saya ketika berangkat ke Madura hanya bawa uang cukup untuk ongkos bis. Kalau pun ada sisinya, jauh dari cukup untuk buka usaha.
Jalan keluarnya, saya kontak kawan-kawan dekat saya. Dalam waktu cepat, saya berhasil mengumpulkan uang sebesar 7 juta. Sementara peralatan untuk masak, semuanya pinjam dari saudara saya. Dengan modal patungan itu, berdirilah warung mie ayam, di lokasi yang jaraknya sekitar 25 km dari rumah saya.
Karena lokasi warungnya jauh, tentu dia tidak mungkin tinggal di rumah saya lagi. Atas izin Allah, ia diterima di keluarga sederhana tapi baik hati. Ia tinggal di rumah bapaknya teman saya. Betuntung sekali. Kawan saya yang jauh-jauh datang dari Banten ini, diterima dengan sangat baik. Malah ia dianggap sebagai anak sendiri. Ia di situ disediakan kamar secara gratis dan makan juga gratis.
Keberuntungan selalu berpihak sama kawan. Saya kadang-kadang mikir, apa rahasianya, nasib baik selalu menaungi kawan saya ini? Terus terang ketika mencari modal, tidak ada kesulitan. Ketika mencari tempat tinggal dia, juga sangat mudah. Ketika flash back waktu kuliah dulu ternyata saya menemukan rahasianya, yang akan saya jelaskan di bagian akhir tulisan ini.
1 bulan setelah membuka warung mie dan hasilnya cukup lumayan, dia bilang sama saya agar dicarikan calon yang bisa memahami kondisi dia untuk diajak menikah. Saya berusaha mencarinya. Dan ketemu. Sayang, setelah diperkenalkan, si cewek tidak menerimanya karena dua alasan. Pertama, setelah istikharah, hasilnya tidak bagus. Kedua, kawan saya berasal dari daerah yang terlalu jauh bagi si cewek. Khas orang Madura, si cewek hawatir nanti tidak bisa main ke rumah mertua saking jauhnya. Kalau mendadak, misalnya, keluarga kawan saya di Banten sakit, tentu sebagai menantu si cewek berkewajiban datang. Tapi ke sana butuh beaya banyak. Apalagi keluarga si cewek memang saya tahu berasal dari keluarga sederhana. Apadaya, mungkin bukan jodohnya, akhirnya kawan saya gagal mendapatkan cewek sederhana ini.
Memasuki bulan ketiga, usaha kawan saya berhari-hari sepi. Pembeli makin sedikit. Di samping karena faktor saingan makin banyak, menurut konsumen, rasa mie ayam kawan saya tidak sesedap ketika bulan pertama buka. Karena terus sepi, akhirnya kawan saya patah arang. Sejak dulu saya mengenal kawan saya ini memang bukan tipe orang petarung. Kurang tahan banting. Investasi yang hampir 10 juta hasil patungan saya dan kawan-kawan jangankan memperoleh laba, modalnya pun tidak kembali. Tapi, kawan-kawan saya tidak menuntut modalnya.
Saya bersyukur, meski usaha kawan saya bangkrut, justru keinginan untuk menikah tumbuh sangat kuatnya. Ia mulai bisa memahami kultur orang Madura. Tidak begitu lama, ia menemukan impiannya. Orang yang berjasa memfasilitasi dia dan calonnya justru bapak rumah yang ia tinggali. Kabar gembira ini ia sampaikan kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh di Banten. Juga kepada saudaranya yang merantau di Saudi dan Jakarta.
Menikah Tanpa Sanak Keluarga
Menjelang hari H, ia dikirimi uang dari keluarganya di Banten, sebesar 2 juta. Uang itu cukup untuk membeli lemari, satuset kursi dan meja, seta dipan. Hari bahagia yang seharusnya disaksikan sanak keluarga tidak terwujud. Satu pun anggota keluarga tidak bisa hadir, mungkin karena faktor beaya transportasi. Saya maklum, karena kawan saya memang berasal dari keluarga sederhana. Ketika saya berkesempatan berbicara dengan ibunya yang sudah tua, saya terharu. Ibunya menangis karena tidak bisa datang. Ia cuma bisa mendo’akan dari jauh bersama ridhanya yang saya yakini pasti juga ridha Allah.
Untungnya ia mengundang seluruh kawan-kawan saya yang ia kenal. Keluarga besar saya sekitar 10 orang juga menghadiri akad nikahnya yang dilangsungkan secara hikmat dan sederhana. Belum lagi keluarga besar bapak angkat dimana ia tinggal juga “dikerahkan” semua. Meski saya yakin, pasti kawan saya merasakan ada sesuatu yang kurang. Keluarga yang seharusnya datang dalam pernikahan yang penuh makna, tak satu pun bisa hadir. Saya merasakan keharuannya, ketika dia mengucapkan akad nikah. Saya membayangkan, seandainya saya hidup di perantauan, menikah tanpa disaksikan anggota keluarga, mungkin saya pingsan.
Hidup Damai Bersama Anak-Istri
Setelah menikah saya menyaksikan perubahan sikapnya. Wajahnya berseri-seri memancarkan ketenangan. Ia saat ini menjadi petani dan peternak. Dia menceritakan selalu saja ada rizki Allah yang tak terduga, suatu pengalaman yang tidak ia peroleh sebelum ia berkeluarga. Bahwa suatu ketika terdesak oleh kekurangan, saya pikir wajar. Siapa pun pasti selalu merasa kekurangan. Bahkan orang yang berlebih, tetap saja merasa kurang. Tetapi saya melihat kawan saya ini lebih ikhlas menjalani hidup. Bahkan tiga bulan yang lalu, ia sudah dikarunia seorang anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagian hidupnya meski ia jalani dalam kesederhanaan.
Epilog, Rahasia di Balik Kemudahan Hidupnya
Ketika saya berkesempatan berbincang dengan bapak angkatnya, sang bapak angkat bilang, kawan saya ini menurutnya dikarunia kemudahan oleh Allah.
“Bayangkan ia datang ke Madura sebatang kara. Tak ada sanak keluarga. Di sini ia menemukan banyak teman yang mau ngasih modal sama dia. Meski bangkrut tak ada satu pun yang menuntut. Ia juga dimudahkan mendapat pendamping hidup. Bahkan sampai pernikahannya pun banyak membantunya. Pasti semua ini ada rahasinya. Anak tahu, apa kira –kira rahasia dia?”, tanyanya sama saya.
“Entahlah pak..tapi yang saya tahu sewaktu kuliah, kawan saya ini selalu menyediakan diri untuk selalu membantu teman-temannya”, jawab saya singkat.
“Nah itu mungkin rahasianya. Karena ia suka membantu, maka ia diberi kemudahan oleh Allah, seperti pengalaman dia di sini sekarang”, kata bapak juga singkat.
Saya tidak menjawab. Meski dalam hati saya sangat yakin, itulah kunci rahasia kawan saya. Suka menolong orang, karena itu ia dimudahkan oleh Tuhan. Termasuk menikah sebelum bekerja.
Posting Komentar