dok pribadi |
Kamis kemarin (14/03) bertempat di Aula MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur Gapura berlangsung kegiatan bertajuk “Temu Guru Penulis Buku dan Gerakan Literasi Bagi Guru Tingkat SLTA” yang diikuti oleh 100 guru dari 19 lembaga MA/SMA di empat kecamatan, wilayah timur Kabupaten Sumenep.
Gerakan literasi ini menghadirkan 3 guru penulis buku, M. Mushthafa (seorang Kompasianer yang buku barunya Pendidikan dalam Himpitan Google dan Bimbel diterbitkan LKiS, Yogyakarta), Asy’ari Khatib (penerjemah produktif dan penulis buku, buku barunya Taubat Itu Nikmat diterbitkan Zaman), dan saya sendiri. .
Gerakan literasi ini dimaksudkan untuk mendorong guru menjadi pembelajar mandiri dengan tiada henti membaca dan (kalau mau) menulis. Menurut M. Mushthafa, inisiator gerakan literasi ini, dalam era informasi instan seperti sekarang ini seharusnya guru –termasuk para siswa—dibekali keterampilan literasi sehingga mereka bisa mendayagunakan informasi dengan bijak dan benar. Pada akhirnya, guru dan siswa tidak sekedar menjadi konsumen informasi, tetapi harus menjadi produsen.
Mushthafa juga menjelaskan proses kreatifnya menulis. Pengalaman sebagai guru yang setiap hari menjalankan tugas pembelajaran bersama murid banyak mengilhaminya ide yang menarik untuk ditulis. Ide berseleweran di sekitar kita. Tinggal kita mensistematikakan dalam sebuah tulisan.
Inilah yang saya sebut tahaf refleksi, dimana seseorang mengambil jarak dari realitas dalam rangka mejumput lesson learned dari pengalamannya. Bagi penulis, pengalaman itu kemudian diraciknya menjadi sebuah tulisan. Biasanya dalam tahap refleksi ini, seseorang akan menemukan banyak lesson learned yang dijadikan rujukan untuk melakukan tugas ke depan. Tentu saja harapannya, tugas itu akan lebih baik.
Jika menjadi sebuah tulisan, hasil refleksi itu tidak saja bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga orang lain. Syukur jika tulisan itu memunculkan efek domino, menginspirasi orang untuk juga melakukan refleksi atau menumbuhkan ide-ide baru. Karena hakikatnya ide-ide terus akan bergulir dan saling melengkapi, meski terkadang juga memunculkan “pertentangan”.
Sementara Asy’ari Khatib banyak menjelaskan proses kreatifnya menerjemah buku. Ia menjelaskan passion-nya, keasyikannya, kerumitannya, bahkan tantangannya menjadi seorang penerjemah. Tetapi semua itu bisa ia atasi dengan satu kunci, kemauan untuk terus belajar.
Menerjemah tidak cukup hanya bermodal kemampuan bahasa. Menerjemah juga bukan sekedar urusan tehnis-linguistik. Dibutuhkan kemampuan pengetahuan untuk memahami sense dan konteks buku yang akan diterjemah. Jika perlu, penerjemah harus berkelana dalam pikiran pengarang. Tetapi seiring waktu, dengan terus belajar, pada akhirnya proses penerjemahan yang baik akan dicapai.” Langkah seribu harus dimulai dari satu, bukan?,” kata penerjemah yang kocak ini.
Saya yang kebagian terakhir (maklum bukunya baru satu), lebih focus pada proses kreatif memunculkan ide. Saya mennyontohkan buku saya yang baru terbit semua themanya tentang kebudayaan Madura. Yang berbeda dengan penulis lain, thema tulisan saya sebagian besar tentang hal-hal remeh misalnya, tentang kebiasaan orang Madura merokok, minum kopi, memelihara ayam, suka bersarung dan pakai songkok, naik haji, cara merayakan lebaran, dsb.
Saya juga menyontohkan thema-thema tulisan di Kompasiana dan blog pribadi saya Rampak Naong, hampir semuanya soal-soal remeh. Tak lupa saya menjelaskan tulisan saya di Kompasiana yang menghadirkan kejutan tak terduga. Satu tulisan saya, Siapa Bilang Orang Miskin Dilarang Sekolah?, ternyata menggugah kompasianer mengulurkan bantuan. Tulisan lain saya di Kompasiana tentang profile pak Hadariadi, membuat tokoh ini masuk TVone. Saya meyakinkan kepada guru, tulisan itu memiliki kekuatan.
Setelah sessi tanya jawab, ada keinginan dari pada guru kegiatan ini tidak boleh berhenti hanya di ruang pertemuan. Kegiatan ini harus menjadi sebuah gerakan. Mereka menganggap perlu mendesain rencana tindak lanjut (RTL). Saya senang sekali melihat para guru termotivasi oleh kegiatan ini.
Makin tercengang saya katika melihat hasil diskusi RTL. Ada beberapa kegiatan paska pertemuan ini yang dihasilkan; pelatihan menulis, membuat blog (untuk mewadahi tulisan guru yang bergabung), arisan buku, dan terbentuknya komunitas book lovers.
Dalam kegiatan tersebut, atas dukungan Ikatan Guru Indonesia (IGI) kami menyerahkan 15 eks buku 10 Bulan Pengalaman Eropa karya M. Mushthafa kepada masing-masing lembaga yang mengirim utusannya. Setiap peserta juga memperoleh buku dengan judul yang sama. Khusus kepad penanya di sessi dialog, M. Mushthafa menghadiahi buku terbarunya, Pendidikan dalam Himpitan Google dan Bimbel, terbitan LKiS Yogyakarta.
Setelah kegiatan ini, M. Mushthafa, Asy’ari Khatib, dan saya sendiri sedang merencanakan gerakan literasi untuk siswa sambil merawat energy untuk mendampingi gerakan literasi di kalangan guru yang sudah menggeliat ini. Mohon dukungan dan do’a, semoga gerakan ini memberi manfaat bagi kemajuan pendidikan di desa.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 15 Maret 2013
2 Responses so far.
Wah, tertipu judul :-(
poligami aman maksudnya ya??? hi..hi..
Posting Komentar