Posted by rampak naong - -

twicsy.com

Suatu hari, selepas maghrib, saya sedang ngobrol sama ibu, kakak, adik dan keponakan. Kakak dan keponakan memang tinggal di desa yang lumayan jauh dari rumah ibu, saya dan adik. Tidak setiap hari mereka datang ke rumah asalnya. Ketika mereka datang biasanya digunakan untuk ngobrol “ngalor-ngidul” melepas kekangenan.

Saat asyik ngobrol, tiba-tiba ada pengumuman di Masjid dekat rumah. “ Dha’ sadeje jama’ah kompolan ta’mir masjid baitus salam, malam mangken kompolan e compo’na Zali (kepada semua jama’ah kumpulan (pengajian) takmir Masjid Baitus Salam, malam ini kumpulan di rumah Zali)”, demikian suara anak muda mengumumkan informasi melalui pengeras suara di Masjid.  

Mendengar pengumuman anak muda yang suara tidak asing lagi bagi kami, kakak saya langsung nyeletuk, “kurang benar tuh cara berbahasa Maduranya”. Apanya yang gak benar kak”Mestinya bukan “compok” tapi ”dhalem”Saya langsung sadar. Compok dan dhalem memiliki makna sama yaitu, rumah. Cuma compok bahasa pertengahan antara kasar dan halus. Dhalem adalah bahasa yang paling halus. sementara yang kasar, bengko.Bahasa Madura memang memiliki tingkatan dalam berbahasa. Secara umum terdapat tiga tingkatan;  kasar, menengah, dan halus. Tingkatan bahasa itu harus secara konsisten digunakan, dan juga  harus disesuaikan dengan lawan bicara. Misalnya, kepada yang lebih tua orang Madura menggunakan tingkatan yang halus. Kepada yang setara atau lebih muda menggunakan bahasa kasar. Tetapi yang harus diperhtikan, ketika menggunakannya orang tidak boleh mencampur dengan tingkatan menengah, apalagi kasar.

Penggunaan tingkatan bahasa halus, menengah, dan kasar bagi orang Madura bukan sekadar menyangkut persoalan bahasa. Ini sudah menyangkut masalah tatakrama dan kesopanan. Sehingga orang yang tidak baik berbahasa dianggap orang yang kurang memahami tatakrama.

Kasus anak muda ini bukan kasus aneh saat ini. Dalam pengalaman saya sehari-hari saya mendapati banyak anak muda yang berjarak dengan bahasa ibunya. Mereka hanya menguasai bahasa kasar dan menengah. Itu pun dicampur baur ketika menggunakannya. Jarang sekali saya mendapati anak muda memahami penggunaan bahasa Madura dalam tingkatan halus. 

Sepertinya mereka tidak bergairah belajar bahasa ibunya. Mereka merasa lebih gaul jika menggunakan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Saya kadang bertanya-tanya, seorang pelajar di pelosok pedesaan yang pintar Bahasa Inggris, setelah lulus untuk apa? Tak ada hubungan langsung antara Bahasa Inggris yang dikuasainya dengan lingkungan sosial dan budayanya. Kecuali bagi sebagian anak desa yang mampu melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dan cita-cita ini kadang sekadar mimpi bagi banyak anak petani pedesaan.

Mereka tentu tidak sepenuhnya salah. Orientasi pendidikan yang abai terhadap lingkungan sosial dan kebudayaan dimana mereka hidup, ikut mengasingkan mereka dari akar budayanya. Misalnya, sekolah-sekolah formal saat ini sudah menggunakan bahasa nasional dalam proses pembelajaran di kelas. Pelajaran bahasa yang sekedar menjadi muatan local hanya berhenti di tingkat MI/SD. Lembaga pendidikan sepertinya tak menganggap penting pelajaran bahasa ibu.

Sementara di keluarga anak-anak dibiasakan menggunakan bahasa nasional. Di daerah Madura sepertinya sudah menjadi trend, keluarga banyak yang menggunakan bahasa nasional dengan anak-anaknya. Nah, dimana lagi Bahasa Madura memperoleh tempat untuk bersemi? Entahlah.

Suatu hari, ketika saya bertemu dengan anak muda yang “menyuarakan” pengumuman melalui pengeras suara di Masjid, saya menyampaikan tanggapan kakak saya di atas. Sepertinya, dia menerimanya dengan senang hati.

Matorsakalangkong
Pulau Garam | 2 April 2013