members.virtualtourist.com |
Saya mengapresiasi keinginan Bupati Sumenep, KHA. Busyro Karim, untuk membangun Madura hand in hand dengan tiga bupati lainnya di wilayah Madura. Satu keinginan yang bijak mengingat selama ini sepertinya pimpinan daerah di wilayah Madura berjalan sendiri-sendiri. Setidaknya itulah yang tersirat dalam tulisan KH Busyro Kariem, Membangun Madura Bersatu [Koran Madura, 4/3].
Tulisan ini ingin mendiskusikan gagasan bupati Sumenep itu, kira-kira apa isu bersama yang bisa merajut “kebersatuan” membangun Madura. Dalam tulisannya, bupati hanya menyinggung luas wilayah, jumlah penduduk, Sumber Daya Alam [mungkin migas] dan regenerasi kepemimpinan di 4 kabupaten di Madura yang diharapkan bisa menjadi pemantik bagi kemajuan Madura.
Pada hal ada sesuatu yang penting yang tidak terungkap atau mungkin tak terpikirkan yaitu, Madura sebagai sebuah identitas [etnisitas] lengkap dengan simbol budayanya. Berbicara ini berarti kita harus menyelami dasar terdalam bagaimana simbol kebudayaan Madura dimaknai, mulai sejak budaya dalam pengertian artefak, juga pandangan dan falsafah hidupnya. Sebenarnya di atas basis budaya inilah, menurut saya, membangun Madura harus dimulai.
Dalam pengertian artefak, saya sebagai orang Madura merasa asing di daerah sendiri. Sejak saya berangkat dari Sumenep hingga tiba di pintu masuk jembatan Suramadu saya tak menemukan simbol-simbol budaya Madura. Arsitektur kantor pemerintahan, pakaian pegawai kantornya, petunjuk jalan, nama jalan, dsb. sama sekali tak memberi “pengalaman” bahwa saya berada di daerah Madura. Pengalaman yang saya maksud di sini bukan dalam makna geografis tetapi kebudayaan. Bayangkan, jika yang datang orang luar Madura, mungkin akan tambah asing.
Saya membayangkan, bisakah dalam hari-hari tertentu pegawai pemerintahan menggunakan sarung dan songkok? Mungkin gagasan ini dianggap lucu tetapi, bagi saya tidak. Sarung dan songkok bagi saya termasuk identitas Madura. Ketika saya dulu kuliah di Jakarta, seringkali saya ditanyai kenapa orang Madura sering menggunakan sarung dan songkok.
Melihat pegawai menggunakan sarung dan songkok di hari tertentu, tentu hal ini akan memberi pengalaman bagi orang luar –termasuk bagi orang Madura sendiri—masuk dalam kebudayaan Madura. Ia betul-betul “ada” di Madura bukan melulu dalam pengertian geografis, tetapi dalam kebudayaannya atau dalam identitasnya. Jika Bali bisa, kenapa Madura tidak? Dalam konteks ini, saya mengapresiasi keinginan Jokowi yang merencanakan pakaian khas Betawi menjadi pakaian resmi pegawai negeri dan swasta di Jakarta satu hari dalam seminggu.
Tentang petunjuk jalan, nama jalan, nama-nama tempat ziarah atau wisata barangkali disamping menggunakan bahasa Indonesia, penting juga ditulis bahasa Madura-nya. Misalnya ucapan “Anda Memasuki Kabupaten Sumenep”, di bawahnya bisa diikuti bahasa Madura “Panjenengan Ampon Tandhuk dha’ Kabupaten Songenep”. Dan ini perlu dilakukan seragam sejak Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Ini cara sederhana khususnya bagi orang luar Madura untuk mengenal bahasa Madura sebagai pintu masuk memahami kebudayaan Madura.
Hal lain yang layak dipertimbangkan dalam “membangun Madura bersatu”, perlunya merumuskan ulang branding yang memudahkan orang luar ingat Madura. jika dulu orang luar Madura menyebut “pulau garam”, kenapa branding ini tidak digunakan lagi? Toh faktanya, 60% kebutuhan garam nasional dipasok dari Madura.Tulisan ini ingin mendiskusikan gagasan bupati Sumenep itu, kira-kira apa isu bersama yang bisa merajut “kebersatuan” membangun Madura. Dalam tulisannya, bupati hanya menyinggung luas wilayah, jumlah penduduk, Sumber Daya Alam [mungkin migas] dan regenerasi kepemimpinan di 4 kabupaten di Madura yang diharapkan bisa menjadi pemantik bagi kemajuan Madura.
Pada hal ada sesuatu yang penting yang tidak terungkap atau mungkin tak terpikirkan yaitu, Madura sebagai sebuah identitas [etnisitas] lengkap dengan simbol budayanya. Berbicara ini berarti kita harus menyelami dasar terdalam bagaimana simbol kebudayaan Madura dimaknai, mulai sejak budaya dalam pengertian artefak, juga pandangan dan falsafah hidupnya. Sebenarnya di atas basis budaya inilah, menurut saya, membangun Madura harus dimulai.
Dalam pengertian artefak, saya sebagai orang Madura merasa asing di daerah sendiri. Sejak saya berangkat dari Sumenep hingga tiba di pintu masuk jembatan Suramadu saya tak menemukan simbol-simbol budaya Madura. Arsitektur kantor pemerintahan, pakaian pegawai kantornya, petunjuk jalan, nama jalan, dsb. sama sekali tak memberi “pengalaman” bahwa saya berada di daerah Madura. Pengalaman yang saya maksud di sini bukan dalam makna geografis tetapi kebudayaan. Bayangkan, jika yang datang orang luar Madura, mungkin akan tambah asing.
Saya membayangkan, bisakah dalam hari-hari tertentu pegawai pemerintahan menggunakan sarung dan songkok? Mungkin gagasan ini dianggap lucu tetapi, bagi saya tidak. Sarung dan songkok bagi saya termasuk identitas Madura. Ketika saya dulu kuliah di Jakarta, seringkali saya ditanyai kenapa orang Madura sering menggunakan sarung dan songkok.
Melihat pegawai menggunakan sarung dan songkok di hari tertentu, tentu hal ini akan memberi pengalaman bagi orang luar –termasuk bagi orang Madura sendiri—masuk dalam kebudayaan Madura. Ia betul-betul “ada” di Madura bukan melulu dalam pengertian geografis, tetapi dalam kebudayaannya atau dalam identitasnya. Jika Bali bisa, kenapa Madura tidak? Dalam konteks ini, saya mengapresiasi keinginan Jokowi yang merencanakan pakaian khas Betawi menjadi pakaian resmi pegawai negeri dan swasta di Jakarta satu hari dalam seminggu.
Tentang petunjuk jalan, nama jalan, nama-nama tempat ziarah atau wisata barangkali disamping menggunakan bahasa Indonesia, penting juga ditulis bahasa Madura-nya. Misalnya ucapan “Anda Memasuki Kabupaten Sumenep”, di bawahnya bisa diikuti bahasa Madura “Panjenengan Ampon Tandhuk dha’ Kabupaten Songenep”. Dan ini perlu dilakukan seragam sejak Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Ini cara sederhana khususnya bagi orang luar Madura untuk mengenal bahasa Madura sebagai pintu masuk memahami kebudayaan Madura.
Jika branding ini dipilih tentu harus dibarengi upaya sungguh-sungguh dari semua bupati di wilayah Madura untuk meningkatkan produksi garam. Termasuk tentu saja meningkatkan taraf ekonomi petaninya dengan misalnya, ikut mengawal jual-beli garam sesuai dengan harga pokok penjualan (HPH) yang ditentukan pemerintah. Bukan seperti sekarang, petani garam dijadikan bulan-bulanan PT Garam dan pengusaha garam.
Cara lain yang bisa ditempuh adalah memberi keterampilan bagi [kelompok] petani garam agar bisa memproduksi garam beryodium dalam kemasan yang layak jual di swalayan, didistribusikan ke hotel-hotel, tempat wisata, dan tempat-tempat ziarah. Sehingga orang luar tertarik untuk membeli garam beryudium dalam kemasan indah itu. Sesuai fungsi branding tadi, orang luar akan merasa belum lengkap ke Madura jika belum membeli garam Madura. Memang hanya garam, tetapi jika kemasannya cantik pasti orang luar Madura akan beli. Apalagi garam beryudium yang ditawarkan berkualitas premium, pasti laku.
Catatan penting yang patut diagendakan juga tentang kebudayaan dalam pengertian nilai-nilai dan pandangan hidup. Singkatnya, kebijakan apapun untuk memajukan Madura harus diletakkan dalam bingkai kebudayaannya. Kebudayaan harus ditempatkan sebagai basis. Di atas basis kebudayaan inilah kemudian infrastruktur sosial, ekonomi, dan politik dibangun.
Karena itu penting pemerintah daerah mendorong di perguruan tinggi atau di pesantren ada pusat kajian kebudayaan Madura. Hasil kajian ini dimanfaatkan pemerintah daerah dalam mendesain pembangunan di Madura. Hal ini untuk menghindari pembangunan yang justru menjadikan Madura tercerabut dari akar budayanya. Saya menyontohkan misalnya, pengembangan pariwisata, sudahkah pemerintah daerah di Madura punya konsep pengembangan yang diletakkan dalam nilai-nilai kemaduraan? Jangan sampai pariwisata yang dikembangkan hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi, tetapi abai terhadap nilai-nilai kebudayaan Madura yang relijius.
Jika pemerintah daerah tidak menjadikan kebudayaan sebagai basis dalam membangun Madura, sama saja menjadikan Madura hanya gugusan pulau yang tidak lagi asin. Bukan sekedar garamnya, tetapi yang utama kebudayaannya.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 13 April 2013
tulisan ini dimuat di Koran Madura dengan Judul Catatan untuk Bupati KHA. Busyro Karim, Madura, Pulau yang Tak Lagi Asin. Edisi e-papernya bisa dibaca di sini
Posting Komentar