Pada bulan Mei mendatang, beberapa desa di Kabupaten Sumenep akan menyelenggarakan pemilihan kepala desa yang oleh orang Madura dipanggil klebun. Perebutan kekuasaan di struktur pemerintahan terbawah ini sejatinya bisa menjadi momentum untuk meningkatkan pelayanan kepada warga desa, termasuk meningkatkan kesejahteraannya.
Cuma saya ragu momentum ini bisa dicapai. Jika melacak pada genelogi klebun, ada masalah besar yang menjadikan saya pesimis suksesi kepemimpinan klebun bisa beriringan dengan meningkatnya pelayanan terhadap warganya. Geneologi yang saya maksud adalah asal-usul hadirnya klebun yang merupakan racikan kolonial, kelas sosial, dan gaya hidupnya. Masalah besar inilah yang menjadikan kepemimpinan klebun hampa ideologi kerakyatan, bahkan hingga saat ini.
Racikan Kolonial
Secara historis, pemilihan klebun di Madura berlangsung sejak masa kolonialisme dan atas dasar inisiasi pemerintah kolonial Belanda, tahun 1885 (Elly Touwen-Bouwsma,1989). Sebelumnya tak pernah ada klebun di Madura. Saat itu yang ada adalah lurah yang diangkat oleh panembahan untuk memimpin beberapa desa yang secara administratif disatukan dalam wilayah kelurahan.
Lurah oleh pihak kolonial dianggap lebih setia kepada panembahan. Secara cerdik, pemerintah kolonial kemudian membangun kepemimpinan baru di desa untuk mengefektifkan kepentingkan pemerintah kolonial. Itulah alasan yang menjadi dasar adanya pemilihan klebun yang sejak digagas memang melibatkan secara langsung warga desa.
Sejak awal posisi klebun bukan pegawai resmi pemerintah, bahkan hingga saat ini klebun tetap bukan pegawai pemerintah. Tetapi sebagai pemimpin desa yang dipilih secara langsung, klebun menjadi penghubung antara pemerintahan di atasnya dengan warga desa. Klebun di sini menjadi representasi warganya.
Karena bukan pegawai pemerintah, klebun sejak dahulu memang tidak menerima gaji. Sebagai upahnya klebun memperoleh tanah bengkok atau percaton yang biasanya dibagi-bagi dengan aparat pemerintahan desa lainnya. Singkatnya, tanah percaton –dalam bahasa Madura disebut tana cato—adalah basis riil ekonomi klebun.
Melihat sejarah klebun di tangan pemerintah kolonial yang suka memecah belah, kehadirannya tentu saja lebih mewakili pemerintah kolonial ketimbang warganya. Sialnya, sejarah ini terus berlangsung paska kemerdekaan –terutama pada masa Orde Baru—dan bahkan hingga ini.
Berjarak
Sebagai pemimpin yang secara nyata bersentuhan langsung dengan rakyatnya, klebun pasti mengetahui siapa warganya yang lapar, sakit tapi tak bisa berobat, anak-anak yang terlantar dan tidak bisa sekolah, petani yang kesulitan pupuk, dan segenap cerita pilu yang mengiringi penduduk desa. Dengan bahasa gamblang, basis kepemimpinan klebun sebenarnya jelas. Bukan sekedar jumlah dan angka sebagaimana klaim pemimpin sejak level camat, bupati, gubernur hingga presiden.
Masalahnya, seringkali kepemimpinan klebun berjarak. Sebagai elit desa, klebun menciptakan kelas social dan budaya sendiri dari warganya. Sejak interaksi, lingkungan social, dan gaya hidup lebih menampilkan diri sebagai elit, ketimbang pemimpin yang mencoba melakukan “bunuh diri kelas” dengan membaur dan membangun desa bersama warganya.
Kenyataan ini, menurut saya, implikasi langsung dari hampanya ideology kerakyatan yang memang tak memiliki akar panjang dalam sejarah kepemimpinan klebun di Madura. Jika pada masa kolonial klebun berasal dari kelas elit desa yaitu, keluarga lurah yang memiliki akses ke kekuasaan panembahan, pada masa selanjutnya klebun kebanyakan lahir dari lingkungan blater yang akrab dengan nilai-nilai thatak (jagoan), suatu basis kepemimpinan yang lebih memunculkan “rasa takut” ketimbang “wibawa” di hadapan warganya.
Sialnya, kepemimpinan klebun yang elitis tapi ditakuti ini diincar secara cerdas oleh kekuasaan di atasnya. Pada zaman kolonial klebun menjadi pengumpul pajak yang disetor kepada pihak kolonial. Di era Orde Baru klebun menjadi mesin politik Golkar. Dan saat ini ia menjadi “kolektor suara” bagi kepentingan para politisi; calon legislatif, calon bupati, gubernur, bahkan hingga calon presiden. Singkatnya, pertarungan politisi di atas betul-betul memanfaatkan klebun sebagai mesin pendulang suara.
Dalam relasi dengan kekuasaan/kepentingan di atasnya, tentu klebun tidak selalu dalam posisi subordinat. Klebun bisa tampil sebagai subjek otonom yang mewakili kepentingan pribadi. Di sini terkadang tidak jelas siapa yang memolitisasi siapa.
Relasi klebundengan kekuasaan/kepentingan di atasnya seringkali mengorbankan warga desa. Wajar jika keinginan warga desa terhadap klebun-nya juga sangat sederhana, “yang penting desa aman”. Soal lain –sebut saja bantuan raskin—bagi warga desa “itu apa kata klebun”.
Itulah asal-usul hampanya ideologi kerakyatan dalam kepemimpinan klebun. Sejarahnya panjang. Sampai hari ini sepertinya belum banyak berubah. Tentu ke depan kita menginginkan klebun dijabat oleh orang yang well-educated dan memiliki basis ideologi kerakyatan yang jelas. Wallahu A’lam.
Cuma saya ragu momentum ini bisa dicapai. Jika melacak pada genelogi klebun, ada masalah besar yang menjadikan saya pesimis suksesi kepemimpinan klebun bisa beriringan dengan meningkatnya pelayanan terhadap warganya. Geneologi yang saya maksud adalah asal-usul hadirnya klebun yang merupakan racikan kolonial, kelas sosial, dan gaya hidupnya. Masalah besar inilah yang menjadikan kepemimpinan klebun hampa ideologi kerakyatan, bahkan hingga saat ini.
Racikan Kolonial
Secara historis, pemilihan klebun di Madura berlangsung sejak masa kolonialisme dan atas dasar inisiasi pemerintah kolonial Belanda, tahun 1885 (Elly Touwen-Bouwsma,1989). Sebelumnya tak pernah ada klebun di Madura. Saat itu yang ada adalah lurah yang diangkat oleh panembahan untuk memimpin beberapa desa yang secara administratif disatukan dalam wilayah kelurahan.
Lurah oleh pihak kolonial dianggap lebih setia kepada panembahan. Secara cerdik, pemerintah kolonial kemudian membangun kepemimpinan baru di desa untuk mengefektifkan kepentingkan pemerintah kolonial. Itulah alasan yang menjadi dasar adanya pemilihan klebun yang sejak digagas memang melibatkan secara langsung warga desa.
Sejak awal posisi klebun bukan pegawai resmi pemerintah, bahkan hingga saat ini klebun tetap bukan pegawai pemerintah. Tetapi sebagai pemimpin desa yang dipilih secara langsung, klebun menjadi penghubung antara pemerintahan di atasnya dengan warga desa. Klebun di sini menjadi representasi warganya.
Karena bukan pegawai pemerintah, klebun sejak dahulu memang tidak menerima gaji. Sebagai upahnya klebun memperoleh tanah bengkok atau percaton yang biasanya dibagi-bagi dengan aparat pemerintahan desa lainnya. Singkatnya, tanah percaton –dalam bahasa Madura disebut tana cato—adalah basis riil ekonomi klebun.
Melihat sejarah klebun di tangan pemerintah kolonial yang suka memecah belah, kehadirannya tentu saja lebih mewakili pemerintah kolonial ketimbang warganya. Sialnya, sejarah ini terus berlangsung paska kemerdekaan –terutama pada masa Orde Baru—dan bahkan hingga ini.
Berjarak
Sebagai pemimpin yang secara nyata bersentuhan langsung dengan rakyatnya, klebun pasti mengetahui siapa warganya yang lapar, sakit tapi tak bisa berobat, anak-anak yang terlantar dan tidak bisa sekolah, petani yang kesulitan pupuk, dan segenap cerita pilu yang mengiringi penduduk desa. Dengan bahasa gamblang, basis kepemimpinan klebun sebenarnya jelas. Bukan sekedar jumlah dan angka sebagaimana klaim pemimpin sejak level camat, bupati, gubernur hingga presiden.
Masalahnya, seringkali kepemimpinan klebun berjarak. Sebagai elit desa, klebun menciptakan kelas social dan budaya sendiri dari warganya. Sejak interaksi, lingkungan social, dan gaya hidup lebih menampilkan diri sebagai elit, ketimbang pemimpin yang mencoba melakukan “bunuh diri kelas” dengan membaur dan membangun desa bersama warganya.
Kenyataan ini, menurut saya, implikasi langsung dari hampanya ideology kerakyatan yang memang tak memiliki akar panjang dalam sejarah kepemimpinan klebun di Madura. Jika pada masa kolonial klebun berasal dari kelas elit desa yaitu, keluarga lurah yang memiliki akses ke kekuasaan panembahan, pada masa selanjutnya klebun kebanyakan lahir dari lingkungan blater yang akrab dengan nilai-nilai thatak (jagoan), suatu basis kepemimpinan yang lebih memunculkan “rasa takut” ketimbang “wibawa” di hadapan warganya.
Sialnya, kepemimpinan klebun yang elitis tapi ditakuti ini diincar secara cerdas oleh kekuasaan di atasnya. Pada zaman kolonial klebun menjadi pengumpul pajak yang disetor kepada pihak kolonial. Di era Orde Baru klebun menjadi mesin politik Golkar. Dan saat ini ia menjadi “kolektor suara” bagi kepentingan para politisi; calon legislatif, calon bupati, gubernur, bahkan hingga calon presiden. Singkatnya, pertarungan politisi di atas betul-betul memanfaatkan klebun sebagai mesin pendulang suara.
Dalam relasi dengan kekuasaan/kepentingan di atasnya, tentu klebun tidak selalu dalam posisi subordinat. Klebun bisa tampil sebagai subjek otonom yang mewakili kepentingan pribadi. Di sini terkadang tidak jelas siapa yang memolitisasi siapa.
Relasi klebundengan kekuasaan/kepentingan di atasnya seringkali mengorbankan warga desa. Wajar jika keinginan warga desa terhadap klebun-nya juga sangat sederhana, “yang penting desa aman”. Soal lain –sebut saja bantuan raskin—bagi warga desa “itu apa kata klebun”.
Itulah asal-usul hampanya ideologi kerakyatan dalam kepemimpinan klebun. Sejarahnya panjang. Sampai hari ini sepertinya belum banyak berubah. Tentu ke depan kita menginginkan klebun dijabat oleh orang yang well-educated dan memiliki basis ideologi kerakyatan yang jelas. Wallahu A’lam.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Harian Koran Madura, 15 April 2013
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 17 April 2013
Posting Komentar