indopos.co.id |
Sistem politik kita yang kelewat liberal telah meyediakan lubang bagi siapa pun untuk masuk dalam kekuasaan. Asal punya modal cukup dan “tongkat” kuasa, peluang menang lumayan lebar terbuka. Inilah yang saya saksikan pada pileg tahun ini di Sumenep dengan banyaknya mantan klebun yang terpilih sebagai anggota legislatif. Menangnya beberapa mantan klebun menarik dikaji, tidak saja karena kecerdasannya memanfaatkan lubang tadi, tetapi yang utama telah terjadi pergeseran peran politik mereka, dari sekedar “pantong” ke aktor.
Pada masa Orde Baru klebun sepenuhnya menjadi mesin politik Golkar. Golkar yang saat itu menjadi penguasa, melalui jalur birokrasi, menjadikan klebun sebagai pemimpin birokrasi paling bawah tidak punya pilihan kecuali membebek.
Pada masa reformasi, klebun tak lagi membebek pada birokrasi. Klebun memiliki kekuasaan yang otonom untuk menggerakkan kepentingan politiknya. Ini tampak pada pergeseran peran politik klebun yang menjadi “pantong” (tim sukses inti) dari caleg yang –sekali lagi—dipilih secara otonom. Peran ini juga dilakukannya ketika ada perhelatan pilpres, pilgub, dan pilkada.
Peran itu terus bergeser dan cenderung makin kuat dari pemilu ke pemilu. , pada 2009, seiring dengan system pemilu yang menggunakan proporsional terbuka, peran politik klebun terus mengalami penguatan. Puncaknya terjadi pada pileg 2014, dari 50 anggota dewan 8 orang adalah mantan klebun.
Tren baru ini menunjukkan bahwa kekuatan politik klebun tidak bisa dianggap remeh. tidak seperti dulu di zaman orde baru, posisi tawar klebun sangat lemah dan perannya sekedar sub-ordinasi dari birokrasi di atasnya. Sekarang justru terbalik. Klebun malah melenggang masuk ke jantung kekuasaan, ke pusat pengambilan keputusan. Satu permainan peran yang sangat cerdas, dengan memanfaatkan lubang system politik kita yang kelewat liberal.
Kenapa Menang?
Melihat tren yang relative baru ini, pertanyaan menarik yang perlu diajukan, kenapa mereka menang? Menjawab pertanyaan ini barangkali kita perlu melacak basis kelas (mantan) klebun dalam struktur social masyarakat Madura.
Barangkali berbeda dengan kebudayaan lain, misalnya Jawa, klebun dalam pandangan masyarakat Madura bukan sekedar kepemimpinan administratif, tetapi juga kepemimpinan budaya. Klebun memiliki kekuasaan untuk mengatur hampir segenap keperluan masyarakat pedesaan, bahkan hingga ke ruang privat sekalipun, misalnya, menjadi mediator pasangan suami-istri yang didera masalah. Bahkan perannya melampaui sekedar mediator, sering malah menjadi hakim.
Satu hal peran berat yang harus dimainkan klebun adalah, memberi jaminan keamanan kepada warganya. Aib besar bagi klebun jika warganya kemalingan. Lebih-lebih barang yang hilang itu berupa hewan sapi, hewan yang paling akrab dan disayangi orang Madura.
Karena itu syarat menjadi klebun terbilang berat. Sikap tatak (berani) menjadi keharusan. Sikap ini penting untuk memastikan klebun masuk dalam “wilayah abu-abu”, wilayah yang dihuni oleh “jagoan” yang terkadang menjadi rantai dari segenap ketidakamanan di desa. Bahkan, di daerah-daerah yang dominasi jagoan kuat, jagoan itu sendiri yang menjabat klebun.
Itulah salah satu factor yang menguatkan basis kelas klebun dalam masyarakat pedesaan di Madura. Klebun dalam struktur social masyarakat Madura menempati posisi elit. Posisi yang memungkinkannya memainkan sumber-sumber daya politik, bahkan ekonomi.
Melihat basis kelas klebun, menjadi mudah baginya memobilisasi warganya untuk kepentingan politik mereka. Klebun yang berpengaruh (karena sekaligus jagoan) secara perkasa bisa memperoleh dukungan dari warganya. Dalam derajat tertentu, warga yang tidak mendukung bisa mengalami kesulitan. Ini biasanya terjadi di desa-desa dimana kekuasaan klebun demikian sangat powerful. Sementara mayoritas warganya dicekam “budaya bisu” akibat tidak well-educated. Boleh juga karena tidak ada kekuatan pengimbang. Tentu saja di samping menangnya mereka karena posisi kelasnya dan factor jagoannya, pasti factor “gizi” (finansial) juga harus dihitung.
Hal lain yang memungkinkan mereka memenangi pertarungan pileg, adanya konsolidasi kekuatan antara mantan klebun dengan sesama jagoan dan juga klebun aktif. Jaringan mereka sesama jagoan luar biasa solid, dan ini biasanya memang menjadi ciri dari kelompok sub-kultur. Persaudaran yang demikian kuat sesama jagoan, memungkinkan mereka bisa memobilisasi warga untuk kepentingan politik mereka yang dicekam “budaya bisu”, tentu dengan “tongkat” kuasa dan “gizi”.
Menunggu Kiprah
Sebagai angora dewan, mantan klebun ini akan menjalankan tugas dan fungsinya dalam tiga hal; legislasi, budgeting, dan pengawasan. Tiga hal ini tentu memerlukan kapasitas dan kemampuan yang tidak ringan untuk menjalankannya. Belum lagi integritas, sesuatu yang wajib dimiliki oleh pejabat publik untuk tidak terpukau pada silau kekuasan yang cenderung korup itu.
Dalam catatan saya, tiga tugas tadi belum secara maksimal dilakukan anggota dewan pada periode-periode sebelumnya, lebih-lebih anggota dewan hasil pileg 2009. Dalam kasus budgeting misalnya, mayoritas anggota dewan mengikuti irama birokrasi yang mengusulkan program dan kegiatan yang tidak kreatif dan inovatif, serta jauh dari kebutuhan rakyat.
Fungsi legislasi juga kurang dijalankan secara baik karena dalam catatan saya, tidak ada peraturan daerah (perda) yang betul-betul menyuarakan kepentingan rakyat, misalnya perda tata niaga tembakau (meski ada tetapi lebih menyuarakan kepentingan pabrikan), perda yang mengatur pasar modern yang mengancam pasar tradisional, perda RTRW, dsb.
Lalu, bisakah kita berharap banyak pada mantan klebun yang menjadi angota dewan? Barangkali tidak adil kita berharap banyak kepada mereka, sebelum mereka betul-betul menjalankan peran dan fungsinya. Cuma jika melacak pada basis kelas, ideology, dan resource klebun ketika menjalankan fungsi kepemimpinan di desa, tangan saya tak cukup kuat memohon banyak.
Tulisan ini dimuat di Koran Madura | 8.5.2014
Posting Komentar