teronggosong.com |
Di hadapannya tinggal satu kitab lagi, Ta'lim Muta'allim. Satu kitab yang mengajarkan etika bagi pencari ilmu, kitab wajib wabil khusus bagi kaum santri. Dari kitab inilah ia mengenal bagaimana seharusnya seorang santri menghormat dan memuliakan guru.
Diraihnya kitab itu. Tiba-tiba air matanya meleleh. Dengan sangat emosional, diciuminya kitab itu sambil berusaha menghadirkan wajah guru di hadapannya. Guru lahir bathin baginya yang tepat setahun lalu wafat. Suasana makin emosional. Tangis pun pecah.
Dibukalah kitab yang sudah mulai lusuh itu. Sekali buka, tepat pada halaman yang terganjal sebuah foto. Dengan suara berbisik ia berkata, "Alhamdulillah, tuntas sudah. Ini yang aku cari". Rupanya parman selama berjam-jam membongkar lemari kitab dan lembar demi lembar membukanya, hanya untuk mencari foto gurunya. Foto kyainya.
Ia pandangi foto gurunya. Foto itu seakan bercerita. Memutar kembali ingatannya 5 tahun lalu saat ia pamit untuk kembali ke kampung halamannya. Pesan terakhir yang beliau sampaikan sangat singkat, "pulanglah, sampaikan ilmumu secara arif kepada masyarakat di desamu".
Mengingat pesan gurunya, parman kembali menangis. Dengan suara lirih ia berbisik, "maafkan kami guru". Ya, parman merasa bersalah karena bukan-bulan terakhir ini ia justru mencampakkan guru sejatinya. Ia malah terhipnotis sama ajakan kawannya untuk mengidolakan "guru" jauh. Guru yang tak pernah ia bersila untuk mengaji di hadapannya. Kecuali ia tonton di TV atau di video android milik temannya.
Setiap parman mendengar ceramah "guru jauh" seolah ia terkesiap. Takjub. Terpana. Teriakan takbir serta semangat keislaman yang menyala-nyala mampu menggelorakan semangat keberagamaannya. "Ini baru Islam", batinnya.
Karena terpukau, Parman pun berangkat ke kota untuk ikut aksi 433. Ia memaknai aksi sebagai jihad, membela agama. Di lokasi aksi, darah mudanya makin bergelegak. Jutaan peserta aksi yang berkumpul telah memindahkan cara pikir bahkan ideologi, dan menghapus hampir seluruh tradisi keilmuan yang ia peroleh di pesantren. Ia pun sering meniru ucapan sang "guru jauh" itu, Takbirrr.
Selepas ikut aksi, parman makin intens terlibat mendirikan organ dari jauh itu. Bahkan parman rela merogoh kocek sendiri membuat banner dengan foto-foto "Guru Jauh" dan kemudian dipancang depan masjid dekat rumahnya.
Saat semangat jihadnya memuncak, tak disangka ia bertemu teman pondok ketika sama-sama di pesantren dulu. Sahabatnya itu membuka kenangan parman terhadap sosok guru di pesantrennya yang dengan arif mendidik parman. Bahkan sang guru tak jarang memberi parman makan dan uang untuk biaya pendidikannya di pondok, di saat orang tua parman angkat tangan tak mampu mengirim biaya.
Parman terkesiap. Wajah gurunya selalu menghantuinya. Seolah gurunya rindu sama parman, meski hidup di tempat yang berbeda. Sejak itu parman mulai mengambil jarak dengan guru jauhnya. Sebagai gantinya, foto gurunya yang dicarinya selama berjam-jam itu diperbesar ke studio foto dan kemudian dibungkus pigura cantik. Foto itu dipasang di tembok di serambi rumahnya.
Baru selesai memasang foto gurunya, tiba-tiba terdengar suara riuh depan rumahnya. "Keluar....Keluar.....", terdengar suara tak bersahabat. Parman pun keluar rumah. Ia pandangi orang yang datang tak diundang ke rumahnya. Jumlahnya tak lebih 15 orang, hanya 0,2 % dari penduduk desanya. Tapi suara kerasnya seakan mengalahkan suara semua penduduk desa.
"Siapa yang menurunkan baliho guru kami", tanya seseorang di antara mereka dengan garangnya. "Kami dengar kabar, kamulah yang menurunkan? Bagaimana mungkin?"
"Ya, saya", kata parman. Kemudian ia ambil foto guru yang baru digantungnya. "Saya punya guru sejati, jadi tak perlu kalian usik lagi," dengan bangga memamerkan foto gurunya. "Dan ini ambil banner yang saya turunkan, tapi tolong jangan dipancang di desa ini", kata parman sambil menyerahkan bungkus plastik kresek berisi banner.
Parman malangkah memasuki rumah. Baru saja melangkah, tiba-tiba sebuah benda melayang mengenai tengkuknya. Parman tersungkur. Pingsan.
Matorsakalangkong
1.04.2017
Posting Komentar