Santri saat ini, apalagi yang sudah jadi masyarakat urban, akrab dengan cafe itu sudah biasa. Masyarakat urban yang sudah kehabisan ruang nyaman untuk sekedar ngobrol akhirnya memilih (salah satunya) cafe untuk bisa sekedar mengaktifkan habitusnya sebagai makhluk sosial. Tak terkecuali santri yang urbanized sudah biasa nongkrong di cafe. Apalagi habitus santri memang suka ngobrol, diskusi, debat dari soal yang paling sepele hingga berat. Jadilah cafe ruang nyaman untuk mendesain obrolan sesukanya, ngobrol ke sana ke mari.
Di Sumenep, saat ini hadir cafe yang juga jadi tongkrongan para santri. Jika Anda masuk ke KancaKonaKopi Anda akan menemukan banyak orang di dalamnya dengan pakaian kebesaran, sarung dan songkok. Itulah salah satu ciri santri. Sarung, songkok, kopi capucino, latte, pernak-pernik desain interior dan segala penanda kegaulan hadir melebur di cafe itu, seolah sebagai sebuah proklamasi bahwa para santri siap berkontestasi dalam medan pertarungan kebudayaan yang makin banal ini.
Tetapi bukan sekedar itu, cafe ini juga milik para santri. Tepatnya para alumni pesantren besar di Sumenep yang mulai serius menggarap bisnis dengan model koperasi, satu eksprementasi yang menurut saya sangat menarik. Modal membangun cafe ini diperoleh dengan menjual saham kepada kepada para alumni, harga /saham 50 ribu rupiah hingga kemudian terkumpul modal rarusan juta yang digunakan untuk mendirikan cafe.
Semua pengelola termasuk karyawan cafe ini adalah para santri. Pengelolaannya juga patuh pada logika bisnis dengan SOP yang ketat. Ini berbeda dengan kultur santri yang biasanya longgar, santai, dan apa adanya. Meski saya meyakini, managemen modern yang biasanya impersonal di tangan santri Insya Allah hadir termodifikasi lebih humanis.
Saya menyebutnya cafe ini merupakan perlawanan dari pinggir terhadap sistem ekonomi yang sangat neolib saat ini. Ekonomi atau bisnis yang hanya dikuasai pribadi dilawan dengan kepemilikan komunal. Ekonomi yang mementingkan persaingan, dilawan dengan model "berbagi". Istilah saya, eksperimentasi bisnis santri ini merupakan satu sistem ekonomi yang dilandasi semangat, "kalau sejahtera, ya sejahtera bersama" atau "kalau kaya, ayo kaya bersama-sama". Menarik bukan?
Satu lagi, cafe di tangan santri bukan sekedar tempat nongkrong yang memanjakan hasrat lahiriah. KancaKonaKopi adalah ruang belajar, tempat bertemunya masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tempat bertemunya antara tradisi dan yang kontemporer. Ruang untuk membangun peradaban yang berangkat dari tradisi sendiri, tradisi kesantrian. Maka, tagline yang diusung cafe ini, ", Ngopi, Ngaji, Berbagi".
Kita akan menunggu eksperimentasi cafe ini. Jika berhasil, maka pasti akan memberikan efek domino bagi munculnya bisnis-bisnis lain bagi para santri lain, yang berbisnis tidak atas dasar persaingan, tapi berbagi.
Cuma ya itu, harga kopi bagi saya yang isi kantong pas-pasan masih terlalu mahal. Harapan, nanti ada kopi dan snack yang sesuai dengan kantong para santri, yang kebanyakan memang anak rakyat, rakyat yang meski terhempas di republik ini, tapi tetap tak berniat membangun khilafah.
Selamat buat IAA...Selamat buat KancaKonaKopi dan sang Maestro di belakangnya.
Salam Ta'dzim
Pulau Garam l 30 Juni 2017
Posting Komentar