Di awal kepemimpinannya ketika mengganti Anis Baswedan, Bapak Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan yang baru melontarkan gagasan Fullday School (selanjutnya FDS) yang sempat memantik kontroversi di kalangan masyarakat pendidikan. Di tahun ajaran baru ini FDS akan segera diberlakukan.
Persisnya saya tidak tahu tujuan apakah di balik gagasan ini. Khusnuddzan tetap perlu dikedepankan untuk membacanya, meski sikap kritis juga diperlukan.
Mungkin gagasan FDS dimaksudkan untuk menggembleng para siswa agar waktunya dihabiskan untuk belajar dari pada dihabiskan dengan budaya nongkrong dan keluyuran. Secara substantif tentu ini baik, karena di dalamnya terkandung maksud membangun karakter anak didik misalnya saja karakter tahan banting. Sementara hari sabtu dan minggu diliburkan biar para siswa bisa berkumpul bersama keluarga menyemai interaksi dalam balutan kasih sayang.
Sayangnya, pak menteri pendidikan memunculkan gagasan ini tanpa melihat kultur dan praktik pendidikan di Indonesia yang sangat beragam. Sehingga ketika diberlakukan secara nasional tanpa pak menteri menyadarinya, ada kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan, sebut saja pesantren, madrasah diniyah, dan masyarakat desa.
Lalu, apakah dampak FDS bagi tiga kelompok di atas tersebut? Yang paling sederhana tentu saja gagasan FDS akan menggerus tradisi di masyarakat muslim Indonesia, terutama pedesaan, yang biasa menjadikan waktu sore untuk belajar di madrasah diniyah.
Pada hal tradisi ini sudah mengakar dan dengan mudah bisa ditemukan di masyarakat pedesaan, apalagi di Madura. Tentu sangat sayang, jika tradisi ini hilang begitu saja karena kebijakan menteri pendidikan yang hendak menerapkan FS.
Jika tradisi ini hilang bukan sekedar soal habisnya siswa madrasah diniyah, tetapi juga peradaban terutama yang berhubungan dengan soal agama lambat laun akan punah. Bisa dibayangkan kalau masyarakat sudah kehilangan peradabannya, kebudayaannya, dan tradisinya maka masyarakat sejatinya juga akan kehilangan kehidupannya.
Belum lagi yang paling mengkhawatirkan jika tradisi belajar sore hari di madrasah diniyah dihilangkan, para siswa yang kebetulan tidak belajar di pesantren akan semakin mudah diracuni model pendidikan keagamaan doktrinal dan instant. Model pendidikan keagamaan yang biasanya dijalankan oleh kelompok keagamaan yang ekstrem yang abai terhadap kebudayaan nusantara. Dalam jangka panjang dampaknya tentu akan sangat merugikan.
Jika pak menteri mau jujur, FDS tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pesantren. Di pesantren bukan hanya fullday tapi "all day all night". Jika kita mengenal istilah "pembelajar sepanjang hayat atau seumur hidup" ya pesantren tempatnya.
Nah, daripada mengenalkan FDS, kenapa tidak pesantren saja jadikan rujukan pendidikan di Indonesia? Mungkin pertanyaan kayak gini dianggap aneh. Tapi percayalah, dalam amatan saya pendidikan pesantren tetap yang terbaik di negeri ini. Jika banyak orang --mungkin juga pak menteri-- tidak mengakuinya, itu karena mereka tak kenal pesantren.
Di akhir tulisan saya ingin mengatakan gagasan pak menteri, meminjam ungkapan orang Madura, saya bilang, "Puh", satu ungkapan yang biasa digunakan orang Madura ketika melihat sesuatu yang tak berkenan. Maka gagasan pak menteri bagi "puh day school" bukan "fullday School".
Pulau Garam, 16 romadlan 1438 H
ADZ
Posting Komentar