dream.co.id |
paling aswaja, dsb. Fakta ini makin krusial saat politik memainkan identitas sebagai bagian dari cara meraih kekuasaan.
Apa yang menarik bagi saya justru sesuatu di baliknya, kenapa perebutan identitas ini terjadi? Meski sulit mengukur genuin tidaknya identitas seaeorang, adakah parameter yang setidaknya cukup prinsipil untuk mengukurnya? Dua hal inilah yang saya akan coba jelaskan.
Pertama soal perebutan identitas ke-NU-an, dimana klaim muncul sebagai pengokohan identitas ke dalam dan secara berasamaan mendeligitimasi identitas pihak lawan. Misalnya ketika ada warga NU yang selalu bilang dalam ceramah politiknya, "saya ikut NU-nya KH. Asy'ari", ini berarti secara internal pengokohan bahwa ia asli NU atau NU asli, sementara yang tidak sama dengannya "KW-KW-an".
Fakta di atas sebenarnya menjelaskan bahwa tak ada identitas yang utuh. Ada "irisan", ada "belahan", atau ada "pecahan". Justru irisan inilah yang kadang jarang dilihat oleh orang yang selalu mengaku "NU asli" atau orang yang menganggap sama amaliahnya dengan NU tapi fikrah (siyasinya) justru akrab dengan kelompok yang jejak rekamnya menghantam NU.
Mari saya akan perjelas dengan ilustrasi berikut ini. Saya punya teman, warga NU atau setidaknya mengaku NU. Secara amaliah gak ada masalah. Sama persis dengan amaliah NU: dia tahlilan, qunut, yasinan, dan seterusnya. Tiba-tiba teman saya ini sangat "kritis" (lebih tepatnya suka marah) sama NU, termasuk sama pengurus NU, apalagi pengurus PBNU seperti kyai Said Aqil dan baru-baru ini sama Kyai Ma'ruf Amin. Macem-macem yang dikatakannya tentang NU, bahkan NU seolah tidak ada baiknya.
Jika dirunut, pikiran teman saya tidak mungkin tiba-tiba muncul. Pasti ada prosesnya. Salah satunya bisa dilihat "irisannya". Meski dia NU, ia juga aktif di organ yang selama ini berseberangan dengan NU (saya rasa pembaca tahu) dan terakhir teman saya aktif di #gantipresiden2019. Pergaulan teman saya ini dengan kelompok yang selama ini tidak ramah terhadap NU, justru telah membentuk pikiran yang anti-pati terhadap NU, meski dimana-mana ia masih bilang NU.
Dalam perkembangannya, irisan yang awalnya menjadi persimpangan jalan bertemunya identitas ke NU an dia dengan yang lain, malah makin membesar dan menguat. Idetnitas ke-NU-annya tertimbun. Sebaliknya, ia muncul sebagai orang lain, orang yang "baru" yang tiba-tiba tidak sama dengan pandangan masyarakat sekitarnya.
Ia balik menyuarakan kepentingan orang lain, organ lain, ideologi lain, juga partai lain yang sebenarnya tidak sejalan dengan NU. Bahkan untuk kasus tetentu kadang aneh, ia justru menjajakan kepentingan orang Jakarta di desanya atau di daerahnya yang masalah sosial-budayanya sangat jauh berbeda dengan Jakarta.
Terus terang saya kadang tidak tahu, alasan apakah yang secara substantif mendorongnya membenci NU? Pada hal jika dirunut mereka justru berteman dengan orang/kelompok yang selama ini memojokkannya (sekali jika ia memang warga NU). Coba saya ambil contoh gerakan #gantipresiden2019, bukankah di belakangnya ada PKS yang secara ideologis beda dengan NU dan pandangan hidup pesantren? Bukankah di belakangnya banyak ideologi yang selama ini menghantam NU meski kadang atas nama Islam? Soal-soal ini seakan tak cukup menjadikan orang yang mengaku NU menyadari "irisannya".
Anehnya, orang yang mengaku NU asli ini hanya kritis terhadap NU. Sebut saja ketika ada jamaah umroh yang melagukan Ya Lal Wathon, sontak mereka teriak menghujat. Giliran ada gerakan #gantipresiden2019 yang membonceng ibadah haji mereka tiarap, seakan tak tahu-menahu.
Karena identitas NU seseorang tak akan utuh, maka "irisan" wajar. Aktif di organ atau ormas apapun tidak menjadi masalah dengan catatan selama organ atau ormas itu ada titik temu ideologisnya dengan NU. Tetapi jika tidak ya tak perlu mencari-cari alasan untuk menarik NU ke dalam "irisannya" atau mengenalkan organnya senafas dengan NU.
Jadi tentang pertanyaan kedua di atas soal, adakah parameter yang bisa dijadikan alat ukur untuk menilai ke-NU-an seseorang(?), ya ada. Tinggal lihat ideologinya, fikrahnya. NU telah merumuskan apa yang disebut fikrah nahdliyah. Menjadi NU dengan demikian tak hanya diukur dengan amaliah misalnya sama-sama tahlil, sama-sama yasinan dan seterusnya, tetapi secara substantif menyangkut fikrahnya juga seharus senafas dengan fikrah nahdliyah.
Pulau Garam, 12 September 2018