blog.ugm.ac.id |
Tiba di rumah saya melihat seorang bapak kira-kira berumur 50 tahun sedang menunggu. Seorang bapak yang tidak saya kenal sebelumnya. Pakaiannya sangat sederhana. Ia berdiri dekat sepeda ontel tua miliknya. Saya belum bisa menebak berapa kilo meter bapak itu mengayuh sepeda ontel miliknya ke rumah saya.
Saya langsung menuju bapak di dekat sepeda ontelnya. Saya pun bersalaman.
“bapak dari mana?”
“Dekat… dari desa Andulang,” jawabnya. Ah ternyata dekat, desa ini terletak hanya dua desa ke arah timur desa saya . jaraknya kira-kira hanya 3-4 km.
Bapak itu kemudian menjelaskan maksud kedatangannya. Ia bercerita tentang anaknya yang baru kelas X MA di madrasah kami. Ia menjelaskan bahwa ia tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan anaknya. Kepada anaknya sebenarnya ia sudah bilang, tak perlu melanjutkan sekolah. Tapi anaknya bersikukuh untuk terus sekolah.
“Karena itu, bisa tidak jika madrasah menanggung pembeayaan anak saya”, pintanya.
Di madrasah tempat kami mengabdi, siswa memang tidak dipungut SPP, karena sudah ditanggung APBD. Besarnya persiswa 45.000/bulan. Tidak besar memang. Tetapi sudah menjadi komitmen anggaran sebesar itu harus cukup. karena siswa di madrasah kami mayoritas anak dari kelarga tidak mampu. Bahkan dengan jumlah SPP sebesar itu, madrasah masih mampu mensubsidi seragam siswa.
Sementara bagi siswa yang betul-betul tidak mampu, buku paket disubsidi dari anggaran BKSM (bantuan keuangan untuk siswa miskin) yang kami peroleh dari APBD propinsi Jawa Timur. Ketika pelaksaan MOS saya memang bilang sama siswa kelas X, “meski Anda berasal dari keluarga tidak mampu, jangan menyerah. Ayo kita bangun mimpi dari madrasah ini. Jika Anda kesulitan misalnya membeli buku paket atau apapun yang menyangkut sarana belajar, jangan sungkan-sungkan menghubungi pihak madrasah. Anda tetap memiliki hak untuk bersekolah”, kata saya mencoba menyemangati mereka.
Rupanya anak bapak ini ingat sama ucapan saya. Makanya ia “menyuruh” bapaknya menemui saya untuk menagih janji.
“Baiklah bapak, madrasah siap menjamin seluruh beaya pendidikan bapak. Saya justru senang bapak sudah datang ke sini berkomunikasi langsung dengan kami untuk bisa mencari jalan keluar,” kata saya meyakinkan. Saya melihat wajahnya memancarkan kebahagiaan. Setidaknya, ia mulai saat ini tidak lagi meminta anaknya untuk berhenti sekolah karena tidak ada beaya.
“Tapi saya minta komitmen bapak”, tambah saya. “bapak perlu mendorong anak bapak paling tidak dalam tiga hal, (1) jangan pernah bolos (2)dorong untuk terus belajar (ini akan dilihat prestasi belajarnya) (3)kontrol pergaulannya. Bahkan saya nanti akan berkomunikasi dengan anak bapak untuk menyepakati komitmen ini. Bagaimana?,” Tanya saya.
“saya sepakat”, katanya mantap.
Akhirnya selama 1 jam saya terlibat diskusi menarik dengan bapak menyangkut pola kepengasuhan anak. Karena saya tahu, di desa bapak ini lingkungannya mulai kurang ramah terhadap pelajar/anak muda, karena banyak anak muda yang sudah mulai mabuk dan terjebak pada obat terlarang.
Kehadiran bapak ini mengingatkan kembali ingatan saya pada almarhum pendiri pesantren dimana madrasah kami bernaung, “Pesantren ini milik rakyat. Karena itu beaya masuk pesantren dan madrasah yang dikelola pesantren ini harus disesuaikan dengan kemampuan rakyat”, ucap beliau ketika masih hidup. Dan
Alhamdulillah, dawuh beliau hingga detik ini masih menjadi roh dalam menjalankan proses pendidikan di pesantren yang siswanya mulai dari PAUD, TK, MI, MTs, dan MA sudah lebih 1.000 siswa.
Nah, siapa bilang orang miskin dilarang sekolah?
Matorsakalangkong
Sumenep, 20 Agustus 2011
4 Responses so far.
salut dengan madrasahnya mas.. gratis, namun harus dengan komitmen.. Komitmen inilah yang mesti terus dibangun dan dipelihara.. salam
terimakasih mas yaszero..amien semoga komitmen bisa kami pertahankan.
salam dan trims kunjungannya
Salut untuk orang2 yang terus berjuang memajukan pendidikan anak-anak bangsa tanpa mengharap pamrih
terimakasih komentarnya
Posting Komentar